GKP Tamiyang Indramayu: Rumah Bersama bagi Sekolah Cinta Perdamaian

GKP Tamiyang Indramayu: Rumah Bersama bagi Sekolah Cinta Perdamaian

“Dengan saling mengenal, kita menghilangkan segala kecurgiaan dan prasangka,” tulis Pendeta Johannes Simanjuntak, yang ia sampaikan kepada peserta Sekolah Cinta Perdamaian (Setaman). Pendeta Joe –sapaan akrab Johannes Simanjuntak– merupakan pendeta jemaat di Gereja Kristen Pasundan (GKP) Tamiyang, Indramayu.

Program Sekolah Cinta Perdamaian atau Setaman digelar kali keempatnya di Kabupaten Indramayu, yang pada tahun-tahun sebelumnya, diselenggarakan di Pesantren Darul Muslim Tambi, Pesantren Pasekan dan Pesantren Candang Pinggan Indramayu. Setaman sendiri merupakan salah satu program untuk mengembangan isu perdamaian di wilayah III Cirebon oleh Fahmina Institute bekerja sama dengan Pelita Perdamaian.

Pembukaan acara dimulai pada pukul 13.00 WIB, bertempat di Gereja Tamiyang, Rehoboth, Kroya Indramayu. Arya Darma, selaku ketua majelis jemaat GKP Tamiyang dalam sambutannya berujar, “Kegiatan ini sangat positif bagi pengenalan antar anak-bangsa, yang memiliki latarbelakang agama dan kepercayan yang berbeda.” Sembari ia melanjutkan pada pembahasan latar sejarah kebangunan Gereja Kristen Pasundan (GKP) Tamiyang, yang dimulai pada tahun 1913.

Dengan latar kebangunan gereja yang terbilang cukup tua, hal itu menambah pengetahuan bagi narasi sejarah Gereja Kristen Pasundan di Indonesia yang berdiri pra-kemerdekaan Indonesia, yang eksistensinya di masyarakat bisa dibilang merupakan warisan sejarah tersendiri, yakni sebagai cagar budaya nusantara.

Dus, mengenai sejarah negara-bangsa Indonesia juga menjadi materi yang terdapat dalam sekolah cinta perdamaian (setaman). Risma Dwi Fani, selaku fasilitator dalam materi ini, menyampaikan sejarah awal berdiri negara Indonesia, yang berasaskan pancasila dan undang-undang dasar 1945, “yang secara filosofi, sejarah Indonesia adalah sejarah keragaman multientis, budaya dan agama, sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika,” pungkas Risma.

18010864_10203294106630374_2711913221946765304_n

suasana setaman di GKP Tamiyang, foto oleh: Pdt. Joe

Ada sekian materi yang bersama-sama dipelajari dalam proses kegiatan setaman selama tiga hari ini, Jumat-Minggu, 21-23 April 2017. Meliputi di antaranya, internet positif, menulis perdamaian, serta mengenai manajemen konflik. Rudi Ibnu Ahmad, Herdi Atmaja, Imbi Muhammad, Risma Dwi Fani, dan Jihan Fairuz merupakan fasilitator yang mendamping proses belajar setaman, yang kesemuanya berjumlah 27 peserta, di antaranya: Remaja GKP Tamiyang, SMK NU multimedia, dan Khuddam Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Indramayu.

Perbedaan bukanlah sebuah hambatan untuk berteman, apalagi menjadi sekat pemisah dan ketakutan. Ia adalah anugerah, juga rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Mengenal diri sendiri, potensi identitas, serta keragaman yang tumbuh pada setiap individu manusia adalah jalan terbaik agar setiap perbedaan dimaknai sebagai upaya merajut keharmonisan.

Jihan Fairuz, menutup sesinya dengan berkata, “secara alamiah manusia adalah makhluk yang unik, berbeda-beda satu sama lain, memiliki identitas yang bisa berubah juga tergantung dimana tempat kita berada. Kita harus bisa berinteraksi, negosiasi. Penting dipahami agar kita bisa mencegah masalah dalam kehidupan sosial yaitu identitas yang kadang dipolitisasi (red: politik identitas) oleh orang-orang yang punya kepentingan,” (Sand)

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.