Eksistensialisme Buddha

Eksistensialisme Buddha

Oleh: Risme Dwi Fani

“Siapakah Manusia itu?” pertanyaan demikian senantiasa mengganjal dalam benak individu manusia itu sendiri. Hakikat keber-ada-an manusia, tak akan pernah tuntas digali. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat manusia sekalian jawaban filosofisnya, menjadi kajian menarik sebuh diskurus ‘antropologis-filosofis”. Ia meretas jalan di luar agama yang mengukur kedalaman filosofis dalam memahami manusia. Sokrates, tentu saja, orang yang memulai tradisi ‘antroplogis-filosofis’ itu. Kemudian, berderet pula nama-nama filsuf yang di zaman Plato, Plotinus, dan neo-platonisme

Tak ayal, diskursus ‘antroplogis-filosofis’ memang bisa dikatakan teramat kompleks. Terdapat variasi-variasi di dalamnya yang, tentu saja, ibarat sebuah oase di gurun padang pasir. Ia gersang, tapi di sisi lain kedalaman maknanya akan menyegarkan segala tindak-laku kehidupan manusia di dunia ini. kegersangan itu terjadi, saat memahami manusia dibenturkan dualisme, bahwa kemudian manusia terbentuk dari dua kutub yang berbeda, yakni Jiwa (psuke) tubuh (soma).  Adakah memang demikian ‘manusia itu’ sendiri?

Alih-alih laku ‘antropologis-filosof’ hendak menuju ke pulau, maka di tengah-tengah perjalanan ia dihantam badai ombak, kemudian karam. Begitulah yang terjadi pada sosok Plato. Dalam naskahnya yang masyhur, Parmenides dan Phaedo, ia mendaraskan bahwa pengkategorian dualisme manusia- bahwa Jiwa (psuke) lebih dekat dengan Sang Absolut, dan Tubuh  (soma) selalu bergumul dengan yang fana, sosial. Dualisme Jiwa dan Tubuh, dengan demikian, terdapat status ontologis yang memang dari waktu ke waktu terus memburu pertanyaan, sekaligus pula jawaban dalam memahami ‘siapakah manusia’ itu?

Dan lagi, Plato beralasan bahwa pembilahan antara ‘tubuh dan Jiwa’ di satu hendak menegaskan bahwa hal demikian merupakan cara agar mencapai keber-ada-an manusia atas hakikatnya, telos; barangkali di sinilah terdapat sebuah tujuan filosofis. Di sisi lain, karena dualisme itu menyingkap tabir, manusia dalam dirinya terdapat konfliktual. Sehingga, Aristoteles dengan sejumput ‘antropologis-filosofinya’, membawa pencerahan baru melalui media ‘psikologi Aristoteles (psikofilosofi)’ , yang kelak pada akhirnya proses tercapai tujuan, telos,  mesti melalui proses kemanusiaan. Manifestasi dari unsur dualisme itu sendiri.

Sederet pergumulan diskursus dalam ‘memahami manusia’ terus berlanjut. Paruh abad ke-17 dan ke-18, rasioanalisme Cartesian muncul ke permukaan, yang menantang kita untuk selalu mendaraskan hakikat ke-ber-ada-an manusia dengan aforisme memakai, “Corgito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Bukankah begitu?

Titik Balik Rasionalisme

Pendekatan  ‘memahami manusia’ dalam pandangan Yunani Kuno dan rasionalisme mendapatkan kritik tajam oleh aliran eksistensialisme. Pendekatan ‘antropogis-filosofis’, tentu saja, sangat kompleks, dan yang demikian itu tidak selaras lagi dengan tantangan manusia menghadapi zaman yang kian berkembang dengan kapitalisme. Pasalnya pula, rasionalisme Cartesian dan Newton menjadi tempurung, bahwa kemudian memandang manusia mekanis an sich. Sehingga eksitensialisme, yang digawangi oleh Martin Heidegger, Keirkegaard, dan Jean Paul Sarte hendak menandaskan bahwa memahami manusia harus lebih beranjak ‘eksistensi’ manusia ketimbang ‘esensi’: tubuh dan jiwa.

Dalam konteks ini, Filsafat Buddha yang mengambil keberadaan manusia sebagai titik tolak. Dengan menceritakan bahwa ada seorang biarawan yang bertanya kepada Buddha tentang apakah dunia itu dan apakah manusia itu? Dan sang Buddha menjawab dengan menyamakan biarawan itu sebagai manusia yang terkena panah beracun. Dimana orang yang terluka itu tidaklah menaruh minat teoritis pada masalah terbuat dari bahan apakah anak panah itu dan jenis racun apa yang digunakan juga dari mana panah itu datang. Yang tentunya hal yang utama diinginkannya ialah seseorang dapat melepaskan anak panah itu dan merawat lukanya. Pernyataan yang seperti ini menunjukan sebuah pandangan manusia secara eksistensial.[1]

Manusia, menurut ajaran Buddha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut pancakhandha atau lima kelompok kegemaran dimana ada lima unsur yang ada di dalamnya yakni Rupakhandha (Unsur Wujud), Vedana Khanda (Unsur Perasaan), Sanna Khanda (Unsur Pencerapan), Sankhara Khanda (Bentuk-bentuk Pikiran), Vinana Khanda (Unsur kesadaran).[2]

 1. Rupakhandha, atau kegemaran akan wujud atau bentuk, adalah semua yang terdapat dalam makhluk yang masih berbentuk (unsur dasar) yang dapat diserap dan dibayangkan oleh indra (yang terlihat, terdengar, terasa, tercium ataupun tersentuh).

 2. Vedanakhandha, atau kegemaran akan perasaan, adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan lima indra manusia dengan dunia luar, baik perasaan senang, susah ataupun netral.

3. Sannakhandha, adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut intensitas indra dalam menanggapi rangsangan dari luar yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti bentuk suara, bau-bauan, cita rasa, sentuhan jasmaniah dan pikiran.

4. Shankharakhandha, adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran. Menurut ajaran Buddha, bentuk-bentuk pikiran ini terdiri dari 50 macam kegiatan mental seperti perhatian, keinginan, keyakinan, kemauan keras, keserakahan, dan sebagainya.

5. Vinnanakhandha, kegemaran akan kesadaran, adalah kegemaran terhadap reaksi atau jawaban yang berdasarkan pada salah satu dari keenam indra dengan objek dari indra yang bersangkutan.

Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima khandha tanpa adanya roh atau atma di dalamnya. Agama Buddha menyangkal adanya roh atau atma yang kekal dalam diri manusia.Ajaran ini disebut dengan ajaran anatman atau anatta. Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Buddha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaiman diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudya, yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa kehausan (tanha) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta ketertarikan pada hawa nafsu. Tanha inilah yang bisa mengakibatkan manusia ke dalam lobha (ketamakan), moha (kegelapan) dan dosa (kebencian). Terhentinya dukkha manusia bisa membawa manusia sampai pada nirwana. Istilah “nirwana” adalah untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep surga maupun neraka seperti dalam agama-agama lainnya. Ketika kebodohan teratasi, maka tercapailah kebebasan yang sebenar-benarnya, suatu nirwana yang mutlak. Nirwana inilah tujuan akhir dari semua pemeluk agama Buddha, baik sewaktu masih hidup maupun sesudah mati.

Lima khanda yang menyusun manusia ini yang telah dikatakan diawal ialah dapat menyusun batin. Nah, batin inilah yang menentukan kebersihan hati manusia. Jika hatinya kotor itu karena kebencian sehingga hatinya menjadi kotor dan tertutup. Untuk membersihkan hati itu dengan sendirinya cahaya illahi akan muncul dan akan timbul cinta kasih dan welas asih. Dengan demikian kita akan memiliki sikap rela dan hal inilah yang menjadi pembersih dalam jiwa juga. Terdapat buah karma yang ditanam oleh kita sehingga akan ada balasan dari buah karmanya itu. Ada tangan-tangan yang tidak nampak jika manusia berbuat baik.

Manusia yang di dalam dirinya terdapat hukum sebab akibat yang saling berhubungan atau sering disebut hukum karma dimana manusia memiliki karma masa lalu ada hasil perbuatan di masa lalu yang kalau ingin terlahir kembali itu sangat sulit, sulitnya dicontohkan secara biologis. Dimana dari berjuta-juta sperma yang masuk kedalam indung telur maka hanya akan memenangkan satu saja janin utuh atau jika ia kembar yang sesuai dengan kembarnya. Dengan demikian proses menjadi seorang manusia itu sangatlah sulit. Karena sulitnya menjadi manusia di alam semesta terdapat sebuah kehidupan yang disebut arupadatu (kehidupan yang tidak nampak) dimana bentuknya itu belum sempurna seperti manusia. Karena berada pada kehidupan yang belum sempurna, Contohnya ialah wayang diantaranya semar yang merupakan anak sang pencipta. Sedangkan Petruk dan Gareng itu merupakan contoh makhluk yang belum sempurna.

Sebenarnya para makhluk halus ini lebih senang menjadi manusia sempurna karena memiliki tubuh kasar yang dapat melakukan perbuatan yang bisa menjalankan kehidupan dengan baik. Dalam kehidupan yang tidak bagus dan dengan melakukan karma baik yang banyak maka dalam hukum tumimbal akhir ini akan terlahir kembali dengan posisi yang sempurna. Atau pun kita ini bisa terbebas dari hukum tumimbal akhir yang tidak lahir kembali memiliki derajat yang mulia lebih dari kehidupan manusia atau disebut tingkat arahat. Kalau dicontohkan misalnya pangeran sidharta yang dilahirkan sebagai manusia namun tak mungkin terlahir kembali karena tugasnya sudah selesai. Bisa dikatakan sidharta ini sudah mencapai parinibbana.

Dalam agama Buddha pun dijelaskan mengenai berbagai macam orang yang jika seseorang yang memiliki rupa yang jelek namun memiliki kekayaan itu berarti pada karma masa lalunya ia sering sekali berderma. Lalu jika seseorang yang memiliki wajah cantik dan kaya berarti pada karma masa lalunya itu ia baik dan ramah terhadap orang dan juga suka berderma.

Jika seseorang ingin mengurangi perbuatan buruk maka ia harus mengamalkan  pancasila tersebut dan selanjutnya membaca paritta yakni sabda-sabda yang diajarkan Buddha setelah itu kemudian merenung sebentar tentang apa yang dibaca. Dengan seperti itu manusia tersebut berarti berusaha mewujudkan karma baik dalam dirinya. Sehingga dirinya dapat mencapai punarbhava ( hukum tumimbal akhir) yang baik. Dan juga dapat bereinkarnasi kepada tingkat Boddhisatva.

Meditasi yang merupakan pengajaran penting dalam buddhisme ini pun ada beberapa tingkat pengaturan nafas, dengan mengatur nafas apabila sedang mengalami marah atau yang sebagainya. Selanjutnya ialah tingkat ketenangan yang dengan meditasi  maka kita akan mengalami ketenangan yang sangat luar biasa. Dengan meditasi pula, manusia dalam tingkatan ini dilatih untuk mengikuti ritme alam. Tingkat ketiga ialah kesadaran, jadi dalam meditasi ini kita harus selalu sadar akan kehidupan ini dan apa yang kita lakukan. Jika tingkatan meditasi ini maka akan mencapai tingkat buddha.

Sungguhpun demikian, dari sinilah kita tahu, Buddha berjasa besar terhadap diskurus memahami apa dan siapa dan mau ke mana ‘manusia itu sendiri’ hendak berlabuh. ia menandaskan keniscayaan mendasarkan diri-manusia kepada ‘eksistensi’ ketimbang ‘esensi’. bukankah begitu?


[1] Jostein Gaarder, “Dunia Sophie”, (Mizan; 2012) hal 587

[2]Disampaikan pada wawancara dengan Bapak Surya sebagai salah seorang penganut agama Buddha di Vihara Dewi Welas Asih

*Penulis adalah Anggota Departemen Program Riset dan Kajian Ilmiah Pemuda Lintas Iman Cirebon (PELITA), bergiat di CSPC (Center of Study Philosophy and Culture) IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.