
pada Selasa-Rabu, 13-14 Desember 2016, Pelita Perdamaian bekerjasama dengan Imparsial (The Right Human Monitoring), menyelenggarakn diskusi terbatas dengan institusi kepolisian dengan tema “Peran Polri dalam Merespon Pelaku Ujaran Kebencian”, yang bertempat di Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat
Isu hate speech, atau yang dalam Bahasa Indonesia sering dirujuk sebagai syi’ar atau ujaran kebencian yang semakin marak di ruang publik perlu mendapat perhatian dan penanganan serius. Perhatian atas isu ini muncul di tengah serangan dan diskriminasi terhadap minoritas yang marak di sejumlah tempat. Sejumlah laporan menyebutkan merebaknya ‘syiar’ atau ‘ujaran kebencian’ di ruang publik sebagai salah satu faktor yang memainkan peranan atas terjadinya berbagai peristiwa itu. Bentuk ujaran ini dipandang tidak hanya mendorong tumbuh suburnya benih-benih intoleransi, akan tetapi juga faktor penyulut orang atau sekelompok orang untuk melakukan kekerasan dan mendiskriminasi orang atau kelompok lain.
Dengan seriusnya dampak yang ditimbulkan akibat tindakan ujaran kebencian, belakangan muncul wacana dan dorongan tentang pentingnya upaya menangkal dan menindak tindakan ini. Syiar kebencian tidak bisa dibiarkan karena menyerang hak asasi dan martabat manusia, serta mengancam kemajemukan di Indonesia. Paling tidak ada dua gejala di tengah masyarakat yang menjadi alasan mengapa penebaran ujaran kebencian penting untuk dicegak dan ditangani, antara lain:
Pertama, ujaran memiliki peran baik itu langsung atau tidak langsung atas terjadinya defisit dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Defisit itu di antaranya terlihat dari meningkatnya kasus-kasus kriminalisasi terhadap ekspresi-ekspresi keagamaan yang dianggap “sesat” atau “menyimpang,” berbagai kekerasan terhadap komunitas agama atau keyakinan minoritas, serta hambatan terhadap kaum minoritas untuk mendirikan tempat ibadah.
Kedua, penebaran kebencian juga berkontribusi terhadap berkembangnya terorisme berbasis radikalisme keagamaan. Ini terlihat dari peran penebaran kebencian menjadi pupuk penyubur transformasi seseorang dari kelompok vigilante yang beroperasi secara terbuka menjadi anggota jihadis teroris yang beroperasi secara tertutup. Menurut laporan International Crisis Group (ICG), kenyataan ini ditunjukkan dalam kasus Mochamad Syarif, pelaku bom di masjid Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011 memperlihatkan peranan penebaran kebencian di dalam mendorong transformasi dan peralihan si pelaku dari bagian dari kelompok vigilante menjadi seorang jihadis teroris.
Dalam konteks kekinian, kasus penebaran atau ujaran kebencian yang menonjol di Indonesia adalah yang berbasiskan intoleransi atau kebencian agama. Ini yang berkembang paling kontras akhir-akhir ini. Meski demikian, hal ini tidak berarti bahwa penebaran kebencian tidak terjadi dalam isu-su lainnya, seperti penebaran kebencian atas dasar etnik ataupun terhadap LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) yang dilatari oleh karena faktor perbedaan orientasi seksual. Tindakan ini dapat ditemukan baik di dalam seremoni-seremoni keagamaan, semisal peringatan hari-hari besar, khotbah di masjid, dan pengajian. Media-medua lain yang juga sering digunakan dalam bentuk tulisan seperti pamflet atau spanduk, atau media internet.
Persoalannya, penebaran kebencian masih banyak yang melihatnya bukan sebagai masalah. Saat ini belum ada kesadaran – baik itu pelaku, korban, dan bahkan polisi bahwa penebaran kebencian sebagai suatu kejahatan. Padahal peneberan kebencian menyerang jantung Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih lagi yang berdasarkan ras, yang menurutnya menyerang gagasan dasar HAM tentang martabat manusia. Jika ini tidak disadari, semakin lama akan membuat kita menjadi masyarakat yang intoleran, rasis dalam jangka panjang dan bahayanya adalah menyerang sendi keberagaman di masyarakat. Pembiaran aksi bisa menyulut kebencian yang berpotensi menimbulkan kejahatan yang bermotif bias (hate crime).
Salah satu institusi penting dalam konteks penanganan siar ujaran kebencian di ruang publik adalah Institusi kepolisian. Dengan fungsi dan tugasnya sebagai aktor keamanan dan penegakan hukum, peran Polri dalam mencegah dan menindak tegas aksi ini sangat penting. Apalagi Kapolri pada akhir 2005 telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Ujaran Kebencian bagi anggota kepolisian, sehingga polisi di daerah dituntut untuk aktif melalui cara-cara yang konstruktif melakukan pencegahan dan penindakan secara tegas terhadap pelaku siar ujaran kebencian.
Comments Closed