
By; Reportasi Pelita Perdamaian
Kepolisian memiliki tugas dan fungsinya yang strategis sebagai pengayom dan pelindung masyarakat sipil. Dalam rangka menciptakan bina damai, tentu saja, aparat kepolisan tidak mungkin bekerja sendirian.
Seluruh elemen masyarakat, baik dari aparat negara atau warga sipil, mempunyai tanggung jawab yang sama-sebangun dalam rangka mewujudkan kehidupan yang harmonis di tengah keragaman dan pluralitas yang terdapat di masyarakat. Hal tersebutlah yang hendak didesiminasikan pada acara seminar yang bertajuk, “Hasil assesement penelitian keragaman di wilayah III Cirebon”, yang diselenggarakan oleh Fahmina Institute, di Ballroom Hotel Bentani Cirebon, 14 September 2015.
Marzuki Rais, selaku pemateri dalam acara itu, memaparkan tentang penemuan-penemuannya selama proses penelitian berlangsung. “Praktik intoleransi (baca: kekerasan atas nama agama) di wilayah III Cirebon tak kunjung menurun. Setiap tahunnya, gejala-gejala akan keberadaan kelompok garis keras terus melakukan aksi kekerasan.” Sehingga, lanjutnya “Kota Cirebon, khususnya, masih dianggap ‘zona merah’ pelanggaran tindak kekerasan atas nama agama, khususnya di Jawa Barat. Realitas tersebut sedianya menjadi perhatian dan memantik tindak kita semua agar pluralitas Cirebon jangan sampai terganggu, khusunya aparat kepolisian.” Tutupnya.
Menanggapi fakta demikian, AKBP Hj. Yoyoh Indayah selaku narasumber dari kepolisian yang menjabat menjadi Wadir Bimas Polda Jabar, menyebutkan garis-garis secara umum bagaimana aparat kepolisan menjalankan tugas dan kewajibannya dalam melayani masyarakat. Ia beranggapan, bahwa masalah pelik yang dihadapi bangsa ini adalah masyarakatnya sedang dalam kondisi kritis. Hal tersebut disebabkan, “salahsatunya menjamur praktik-praktik intoleransi”.
Dalam kesempatan yang sama, Ibu Yoyoh –sapaan akrab mantan kapolres Kuningan-Jawabarat tersebut- juga menegaskan, “Tugas Polri mengajak kepada elemen masayarakat untuk mengantisipasi berbagai bentuk kerawanan, termasuk kerawanan keberagaman (intoleransi) khususnya di wilayah kita masing-masing.”
Prosentasi “potensi konflik” atau yang dalam pandangan kepolisan sebagai bentuk lain dari kerawanan” yakni, lanjutnya, “terdapat sekurang-lebihnya, prosentase dalam hal prioritas tugas kepolsian sendiri yakni, pada aspek keamanan 80%, kemudin peran serta masayarakat 20%, aparatur keamanan 25 %, pihak preventif, penegakan hukum 80%, penegak hukum melakukan tindakan. Di sinilah, sesuai mekanisme prosedural yang berlaku, peran dan tugas Polri pasal 14, meliputi keselamatan harta benda dari kerawanan dan menjunjung tinggi kemanusiaan.”
K.H. Marzuki Wahid menambah kehangatan diskusi pada acara tersebut sebagai salahsatu pemateri. Baginya, negara dan masyarakat, harus menengok kembali hak-hak mendasar tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diatur dalam konstitusi kita, yakni pasal Pasal 281 (1) Undang-Undang No 45 tentang kebebasan berfikir, hak beragama, hak untuk tidak diberlakukan secara tidak menyenangkan. Dalam pasal Undang-Undang no.39 tahun 99 tentang HAM, jaminannya sudah jelas. Secara normatif dan subtantif posisi KBB sangat kuat.
Dalam kaitannya dengan materi diskusi, dalam konteks relasi HAM dan Negara, Bang Jek (K.H. Marzuki Wahid) ingin menegaskan kembali ‘posisi’ KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) dalam kehidupan berbangsa-bernegara. “Jika pelanggaran terjadi dilakukan oleh Negara (aparatur Negara, kebijakannya) maka kondisi tersebut masuk kategori pelanggaran HAM, karena tersistematis dan terstruktur. Nah, jika sebaliknya, pelanggaran KBB dilakukan oleh ormas, maka ia tak lain adalah praktik intoleransi”. Pungkasnya. Penelitian ini mencoba mengangkat aspek-aspek tersebut.
Setelah materi dan assement penelitian selesai didiskusikan, disusul kemudian sesi Tanya jawab. Peserta seminar yang datang dari berbagai elemen masyarakat, seperti Kemenag, FKUB, aparat kepolisian, jaringan kerja Fahmina, Pegiat Pelita Perdamaian, Komunitas Korban KBB, juga masyarakat sipil lainnya. Pertanyaan datang dari salahsatu peserta diskusi, yaitu Harold Aron dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum). Ia menanyakan, “Bagaimana langkah-langkah konkret Negara, khusunya aparat kepolisian, dalam mengantisipasi praktik intoleransi dengan memakai simbol-simbol agama ketika musim Pilkada nanti.”
Meski masih bersifat normatif, Ibu Yoyoh menyarankan agar hal tersebut diserahkan ke KPU (komisi Pemilihan Umum), ketika terdapat pelanggaran dalam konteks kasus Pilkada. “Saat terjadi kriminalitas dan tindak pelanggaran hukum, maka di situlah kepolisian akan menindak tegas,” Jawabnya.
(Sandriyanie Omen)
Comments Closed