
Oleh : Risma Dwi Fani*
Zaman globalisasi, dimana masyarakat diharuskan melek tekhnologi agar dapat berjalan beriringan dengan aktivitas lainnya. Apalagi dengan kuatnya persaingan diantara masyarakat dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, bagaimanakah dengan sisi iman-agamanya?
Yang dalam beragama seharusnya masyarakat berpikir kritis ketika mendalami agamanya. Pembicaraan tentang agama tentu tak dapat dilepaskn dari coraknya yang bersifat teologis dan historis sosiologis. Yakni dalam pendekatannya ketika memahami agama dengan corak teologis maka akan mendapatkan pemahaman yang bersifat individualis dengan sifat kebatinannya sedangkan pendekatan yang dilakukan dengan corak historis-sosiologis hanya akan mendapat pemahaman yang berada pada lingkupan kulit saja. Maka dari itu demi melihat keberagaman di dalam masyarakat itu sendiri maka kedua pendekatan itu digabungkan. Lalu, bagaimana cara melakukan penggabungan pendekatan dalam memahami agama secara mendalam tersebut? Apakah konsep teologi pembebasan dapat menjawab semua permasalaham menyangkut agama tersebut? Dan bagaimana lingkup Cirebon dengan adanya Pelita sebagai penggerak pemuda yang berbicara keberagaman?
Konsep Teologi Pembebasan Islam – Kristen
Sebelum membahas bagaimana konsep teologi pembebasan sebaiknya pengetahuan akan teologi dulu yang harus clear pemahamannya. Yang selama ini pengetahuan akan teologi yakni Ilmu tentang Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh William Ockham bahwa teologi ialah disiplin ilmu yang membicarakan kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Yang mana dalam beberapa sumber menyatakan bahwa teologi merupakan cabang ilmu filsafat mengenai Tuhan dan hubungannya dengan realitas. Yang awalnya teologi dibahas oleh Kristen sebagai disiplin ilmu Tuhan dan ketuhanan. Namun, pembicaraan mengenai teologi juga nyatanya sangat dipengaruhi oleh faktor luar, yang manyatakan bahwa teologi itu bukan Tuhan melainkan pikiran manusia yang terinspirasi dari situasi sosial dan lainnya. Dan setelah tahu konsep teologi maka bagaimana dengan pembebasan? Yang mana arti dari pembebasan ialah tidak terkekang oleh apapun.
Kekangan yang dialami dalam pembahasan teologi ini kemudian memunculkan ide mengenai teologi pembebasan. Konsep ini muncul tidak hanya seketika menjadi konsep melainkan melalui berbagai pergerakan untuk membela kaum tertindas pada abad ke-16 dan pada abad ke – 20 tepatnya tahun 1960 di Amerika Latin dikenalkan konsep tersebut dengan terbitnya buku teologia de la liberation karya Gustavo Gutierez seorang teolog peru. Menurutnya, teologi pembebasan ialah sebagai upaya menghaluskan, memperbaiki atau mengoreksi rumusan-rumusan sebelumnya tanpa menghilangkan pesan Kristen yang integral dan realitas yang dialami. Gutierez mengajak untuk berpikir kritis yang merupakan hak dari kaum miskin juga terhadap imannya. Teologi pembebasan merupakan pengembangan untuk pembebasan teologi karena teologi pembebasan bukan sekedar mode melainkan sebuah usaha sungguh-sungguh yang belum usai.
Senada dengan Gutierez yang merupakan teolog Kristen, Ali Asghar pun menjamah konsep teologi pembebasan sebagai sebuah konsep yang tak hanya bicara metafisis melainkan dengan mengakui konsep manusia bebas. Engineer mengungkapkan bahwa teologi pembebasan hadir untuk membela kelompok yang tertindas, dengan konsepnya ialah anti-kemapanan baik itu kemapanan religius ataupun politik. Hal ini diinterpretasikan dari ungkapan Karl Marx yang menyatakan “Agama adalah Candu” yakni bukan hanya agama saja melainkan ikut memantapkan status quo (menjadi ritualis, dogmatis dan metafisis) dan menolak perubahan.
Dialog Sebagai Upaya Kritik
Dalam sejarahnya agama pernah menduduki peringkat pertama pengambilan keputusan. Agama dijadikan sebagai alat untuk mengatur manusia sehingga ia tak dapat mengekspresikan dirinya sebagaimana seharusnya. Manusia pada zaman itu (Dark Age) dikungkung oleh dogma gereja yang jika berusaha menentang maka akan binasalah ia. Seperti halnya Copernicus yang mencoba mengungkapkan teorinya mengenai pusat rotasi ialah matahari bukannya bumi yang bertentangan dengan dogma gereja saat itu. Menjadikan dia dihukum karena kecemerlangannya.
Dan ketika ilmu pengetahuan kembali berkembang nyatanya manusia kehilangan spiritulitasnya mereka kemudian mulai menggeluti kembali konsep iman yang telah lama terkubur. Namun, tak seperti sejarah kelam yang membuat agama tersebut usang dan kehilangan kredibilitasnya melainkan sebagai kritik ideologi modern. Yang mana kritik tersebut dilancarkan sebagai sebuah kekuatan yang dapat mentransformasi.
Teologi pembebasan yang disampaikan oleh Gutierez dan Engineer memiliki pemahaman dengan landasan yang sama yakni Marxian. Keduanya membicarakan pembebasan kaum tertindas walaupun dengan konteks yang berbeda. Karena teologi pembebasan bukanlah konsep teologi baru melainkan tahap baru dalam berteologi. Dan teologi pembebasan hadir membawa konsep dialognya sebagai refleksi kritis dalam beragama.selain itu juga dialog merupakan jawaban para kaum tertindas untuk mencapai revolusi. Karena jika tak ada penindasan maka tak ada juga revolusi. Yang mana dengan adanya revolusi maka negeri yang dicita-citakan dalam sebuah perdamaian terwujud.
Harmoni dalam Gerakan Pelita
Dialog antara masyarakat penggerak dengan penguasa atau orang-orang yang berkepentingan untuk membebaskan kaum yang tertindas. Dengan penyerangan-penyerangan yang mengatas namakan agama sebagai pembenaran aksinya. Indonesia yang merupakan Negara dengan penduduk Islam terbesar ternyata menjadikan masyarakatnya menjadi sensitif dalam hal perbedaan. Walaupun semboyannya Bhineka Tunggal Ika ternyata hal ini tidaklah membuat masyarakat dapat meredam begitu saja jika ada yang berkepentingan menyulut konflik. Walaupun dengan alasan politik pada basisnya namun menggunakan nama agama sebagai penyulutnya. Seperti beberapa kasus yang terjadi misalnya pengeboman, penyegelan tempat ibadah, penyerangan kaum yang tak bersalah menjadikan harmoni itu pecah.
Penciptaan bumi yang harusnya tetap indah ternyata dengan mudah dihancurkan dengan kerikil yang dinamakan konflik. Dan untuk menjaga harmoni tetap berirama apa adanya munculah berbagai organisasi atau gerakan yang membawa konsep teologi pembebasan sebagai upaya menuju perdamaian. Begitupula di Cirebon yang di dalamnya terdapat banyak sekali keragaman yang bisa saja menyulut api dan menghancurkan iramanya. Misalnya penyerangan Ahmadiyah di kuningan yang membuat kericuhan atas nama agama. Dan banyak lagi kasus-kasus perenggutan kebebasan lainnya yang tidak lagi memperlakukan manusia sebagaaimana layaknya. Kemudian, diawali dari keresahan tersebut hadirlah Pelita sebagai sebuah organisasi pemuda yang mencoba mengaransemen ulang kehidupan beragam Cirebon agar tetap harmonis. Dengan konsep dialognya yang sederhana upayanya membuka cakrawala pemahaman demi mencapai kedamaian yang diimpikan. Seperti dalam cuplikan film dokumenter “We are tired, We Want Peace” mungkin ini juga yang membuat Pelita dapat berdiri. Dimana pemuda-pemudi saat itu merasa lelah melihat berbagai pengrusakan penyerangan dan ketidakmanusiawian terjadi yang menjadikan kekuatan untuk membela kaum yang tertindas.
Dialog dalam perjalanan Pelita ini dijadikan senjata untuk mengenal satu sama lain. Bukankah dalam sebuah ungkapan dikatakan “Tak Kenal Maka Tak Sayang” maka disini Pelita mengaplikasikan dengan keliling tempat ibadah untuk saling mengenal dan berdialog satu dengan yang lain. Lalu, setelah dialog dilancarkan mereka mencoba melakukan pemahaman demi membuka pikiran masyarakat yang fanatis yakni dengan refleksi Kritis. Sebuah refleksi yang ditulis kemudian sedikit demi sedikit dapat membuka cakrawala pemahaman masyarakat untuk menerima perbedaan dan tidak mudah tersulut hasutan yang memecah belahkan lego yang telah rapi ditata dan menrusak irama yang telah dibuat dengan harmoni keberagaman.
*Penulis adalah Koordinator Riset & Advokasi PELITA
Keterangan Foto: Dokumentasi kegiatan PELITA
Comments Closed