Dialog Lintas Iman dalam Pandangan R.A kartini*

Dialog Lintas Iman  dalam Pandangan R.A kartini*

Oleh: DEVIDA

 Bulan April bukanlah  sekedar hari simbolis kebangkitan perempuan Indonesia. Pada bulan ini juga sederet kegiatan memperingati hari kelahiran R.A Kartini. Berbagai perayaan serentak dilakukan di sekolah-sekolah, instansi pemerintah, perusahan, elemen masyarakat, LSM, dan aktifis perempuan dengan beramai-ramai mengenakan pakaian kebaya adat Jawa. Momen ini juga tidak disia-siakan oleh beberapa perusahaan produk kecantikan dan barang- barang perlengkapan perempuan dengan menggelar diskon besar-besaran.

R.A. Kartini tidak dikaruniai umur panjang, dia lahir disebuah Desa di Mayong yang terletak 22 km sebelum masuk jantung Kota Jepara  pada 21 April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904. Namun bagi perempuan Indonesia hari kartini benar-benar istimewa, karena ia adalah sosok perempuan priyayi Jawa yang sangat konsisten dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan pejuang anti poligami di tengah kebudayaan patriaki yang masih mendominasi antara laki-laki dan perempuan di masyarakat jawa waktu itu. Lewat surat-suratnya dan umur yang relatif singkat justru ia sangat dikenal.

 

Siapa yang tidak mengenal R.A Kartini? saya kira semua orang Indonesia mengenal Kartini sebagai pahlawan emansipasi. Namun tidak banyak tahu Kartini dalam sisi lain terutama dalam pemikiranya tentang Tuhan dan Agama. Gagasan ini saya kira tidaklah terlahir sendiri dalam diri Kartini, melainkan gagasan tentang dialog lintas iman ini tercipta karena Kartini sering bersinggungan dengan beberapa temannya yang berbeda Agama. Keterbukaan dan luwes dalam bergaul merupakan satu ciri ia sebagai putri bangsawan Islam Jawa yang hidup di wilayah pesisir. Menurut direktur lembaga kajian Islam (LKiS) Mas Hairus Salim Islam pesisir berbeda dengan Islam pedalaman. Islam pesisir lebih terbuka dibandingkan dengan Islam pedalaman. Inilah yang mungkin membuat Kartini mempunyai pandangan pluralitas.

Dialog Lintas Agama

Bagi masyarakat Indonesia keberagaman Agama, Ras, Bahasa, dan Kebudayaan merupakan sebuah keniscayaan yang sukar sekali ditolak. Kekayaan pulau dan suku Bangsa ini yang membentuk karekter Indonesia sebagai Negara yang multikultural. Nusantara mempunyai banyak sekali Agama lokal yang telah dianut masyarakat berabad-abad sebelum kedatangan beberapa Agama yang belakangan ini kemudian disahkan hanya  6  Agama resmi Negara yang tertuang dalam Penetapan Peresiden Republik Indonesi Nomor 1/PNPS Tahun 1965.

Ketegangan antar Agama  berlangsung lama semenjak masa kolonial. Apalagi saat Belanda tidak hanya menjajah melainkan membawa para misionaris bagian dari misi membuat Agama tunggal di Nusantara versi Belanda. Dari sinilah, awal benih kebencian terhadap umat Agama lain tumbuh. Apalagi kemudian Belanda memberlakukan  kebijakan kontrol atas Agama dengan membuat semacam  Departeman Agama.

 

Pandangan Kartini tentang gejala sosial Agama tersebut tertuang dalam surat-surat kartini dan dalam implementasinya ternyata ia banyak bersahabat dengan beberapa orang Belanda yang notabene beragama lain. Praktek dialog lintas Agama yang dilakukan oleh Kartini tidak hanya pada level permukaan atau hanya sebagai jalinan pertemanan tapi juga ia memandang dialog tidak berhenti pada batas tersebut komunikasi. Kerjasama yang real antar Agama dibidang sosial kemasyarakatan untuk mengurangi keterpurukan pribumi  di berbagai bidang terutama pendidikan dan kelaparan itulah dialog yang sesunguhnya kata Kartini.

Dan ini adalah beberapa isi Surat kartini yang berkaitan dengan pandangan terhadap Agama berhasil ditemukan dalam sejarah kartini :

“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun ia sebenar-benarnya bebas.”

[Surat Kartini kepada Ny. Ovink, Oktober 1900]

 

“Supaya Nyonya jangan ragu-ragu, marilah saya katakan ini saja dahulu: Yakinlah Nyonya, KAMI AKAN TETAP MEMELUK AGAMA KAMI yang sekarang ini. Serta dengan Nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja MEMBUAT UMAT AGAMA LAIN MEMANDANG AGAMA ISLAM PATUT DISUKAI . . . ALLAHU AKBAR! Kita katakan sebagai orang Islam, dan bersama kita juga semua insan yang percaya kepada Satu Allah, Gusti Allah, Pencipta Alam Semesta”.

[Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

 

“Bagaimana pendapatmu tentang ZENDING (Diakonia), jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta-kasih, bukan dalam KRISTENISASI? Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya . . . Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi JANGAN MENG-KRISTEN-KAN ORANG! Mungkinkah itu dilakukan?”

[Surat Kartini kepada E.C. Abendanon, 31 Januari 1903]

Tuhan dan Agama

Kegelisahan kartini yang tertuang dalam bentuk surat tidaklah hanya pada keperihatinan terhadap perempuan. Sebagai cucu seorang ulama terkemuka pada masa itu Kiyai Haji Modirono kartini kecil mengenyam pendidikan Agama yang lumayan walau ia sendiri selalu tidak mengerti arti dari Al- Quran yang dibacanya setiap waktu sholat. Dalam catatan sejarah ia juga merupakan salah satu murid Kiai Sholeh Darat sosok ulama karismatik di Jawa. Atas permintaan Kartini kemudian Kiai Sholeh Darat menerjemahkan Al-Quran dengan bahasa Jawa. Tidak rampung 30 jus diterjemahkan, hanya sekitar 5 jus saja. Namun Kiai Sholeh Darat adalah orang pertama yang menerjemahkan Al-Quran dengan bahasa Jawa di Indonesia.

Kartini memandang apa yang ada semuanya adalah diciptakan oleh Allah yang tunggal. Manusia dipersatukan dalam bentuk ikatan persaudaraan tanpa memandang status apapun. Dan Tuhan menciptakan manusia dan Agama sebagai wadah perenungan terhadap mahluk lainya terutama manusia. Semua Agama adalah baik menurut kartini namun pengikutnya sajalah yang merubah tampilan Agama menjadi keras bahkan menjadi alat kekerasan dan menindas atas nama kebenaran Agama.

Menurut kartini Agama sebagai bentuk jalan yang berbeda yang diciptakan oleh Tuhan. Namun mengarah dalam satu tujuan yaitu Tuhan itu sendiri. Agama itu sama, Tidak ada lebih tinggi atau lebih rendah. Hidup berdanpingan dengan umat lain menjadi bagian dari ajaran Agama, jadi tidak ada alasan, dengan Agama manusia akan saling meniyadakan. Konsep ini bila diterapkan sekarang saya kira sangat pas dalam konteks Indonesia yang beragam. Jika seluruh pemahan umat beragama demikian saya yakin umat beragama bisa saling mengerti.

*Tulisan ini pernah dimuat di Kabar Cirebon (KC)

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.