Di Balik Tradisi Umat Hindu di Cirebon: Pertemuan Bulanan ke-38

Di Balik Tradisi Umat Hindu di Cirebon: Pertemuan Bulanan ke-38

Minggu, 17 April 2016, pertemuan bulanan ke-38 mengambil tema seputar tradisi agama dan ajaran Hindu. Diskusi dimulai pada jam tiga sore. Terletak di jalan Bali No. 4 Merbabu Asih Kota Cirebon, Pure Agung Jati Pramana yang menjadi tempat singgah kali ini punya simbol tersendiri bagaimana sejarah keberagaman di sini, di Kota Cirebon.

***

Umat Hindu yang tinggal di Bali barangkali tidak secara spesifik punya pengalaman membangun Pure, karena rata-rata bangunan ibadah di sana merupakan peninggalan leluhur sejak neneng moyang jaman dahulu.

“Di Cirebon, kami merasakan betul pergulatan spiritual dan perjalanan keagamaan yang istimewa; yang khas, ungkap I Dewa Budiana.”

Keistemewaan yang dimaksud sebenarnya terletak pada momentum perjalanan pertama membangun Pure di tahun 1900-an. Saat itu, ia beserta umat Hindu yang ada di Cirebon bahu-membahu memperjuangkan pendirian rumah ibadah itu.

I Dewa Budiana merupakan satu dari sekian tokoh agama Hindu sekaligus pengurus Pure, ia mengungkapkan kegembiraan saat kami datang bertandang.

Bersama kawan lainnya seperti I Nyoman Suardika, ia menceritakan kilas-balik ihwal sejarah rumah ibadah bagi agama Hindu itu, berikut ajaran dan tradisinya kepada ssobat-sobat pelita dalam pertemuan bulanan yang ke-38.

Dialog cukup santai, penuh kelakar canda-tawa. Tapi juga menambah wawasan dan keilmuan. Tema yang diangkat pada kesempatan ini adalah akulturasi Hindu-Bali di Cirebon.

Dalam tahap awal, tutur Dewa Budiana, pembangunan Pura sendiri direncanakan di daerah Gronggong, Kabupaten Cirebon.

Sebagaimana karakteristik ritual agama Hindu yang lebih condong ke daerah pegunungan dan perkebunan, kawasan Gronggong cukup mendukung dan strategis. Akan tetapi, pemerintah daerah tak menghendaki. Meskipun begitu, pada 17 Oktober 1994 Pura resmi berdiri, dengan berpindah lokasi di kawasan Perumnas Kota Cirebon.

“Masa awal periode Pura berdiri, kawasan ini (jalan perumnas) masih semak-belukar, belum banyak bangunan. Baru ada Vihara saat itu. Dalam tahap selanjutnya, menyusul pembangunan seperti toko, perumahan, bahkan samping kanan-kiri bangunan Pura adalah Masjid. Juga ada bangunan yayasan milik umat Kristiani. Tentu ini jadi simpul keragaman di sini,” kata I Dewa Budiana.

IMG_20160417_174156_HDR

Poto bersama di pelataran Mandala Utama, pelita perdamaian

Tak hanya kawasan yang mengelilinginya, di ruangan pertemuan Pura yang bilik penyanggah kayunya terbuat dari Pohon Jati, yang berukuran sekitar 15 x 20 meter persegi, memiliki ornamen khas Bali dengan kombinasi arsitektur Cirebon menghiasi sudut tembok-tembok Pura Agung Jati Pramana.

Soal jumlah umat Hindu di Cirebon, Sekurang-lebihnya umat Hindu  di wilayah III Cirebon ada 60-70 Kepala Keluarga (KK).

Konon, ada wacana bahwa di kawasan Pure akan dibuat tempat wisata. usulan itu datang dari penduduk setempat, mengingat perhatian masyarakat Cirebon ke Pura Agung Jati Pramana begitu intensif untuk wana-wisata. Hal itu diungkapan oleh Pengurus Pure sendiri.

Dari segi fisik bangunan, akulturasi antara kebudayaan Bali dengan kebudayaan Cirebon sangat lekat. Meliputi pertama mandala utama (tempat sembahyang), kedua kiasan, ketiga wantilan (balai serba guna), untuk belajar agama hindu anak-anak belajar di hari minggu

salah satu ornamen yang persis seperti menari Kudus yakni Bali kul-kul. Kuri agung, candi gentar merupakan gerbang di pure agung ini, fungsi candi sendiri adalah tempat pemujaan atau meninggikan para leluhur yang ada di jawa barat. Fungsi candi itu untuk ngaben seluruh leluhur leluhur hindu.

Tradisi yang mengakar

Pengetahuan tentang ajaran dan tradisi Hindu untuk kehidupan manusia, juga keseimbangan alam. Hal-hal demikian menjadi komposisi diskusi di bulanan kali ini. Dihadiri perwakilan berbagai perwakilan komunitas agama dan kepercayaan, yang kesemuanya adalah anak muda.

I Wayan Suardika menemani sesi diskusi berkenaan tentang sistem dan keyakinan ajaran Hindu. Sembari sesekali ia mengutip penjelasan dari kitab Veda, ia juga menceritakan kehidupan umat Hindu di Bali. Baginya, ajaran itu akan banyak mengajarkan seputar relasi manusia, alam, dan Sang Pencipta

“Ajaran hindu sangat tidak menganjurkan menebang Pohon sembarangan. Ada berbagai prosedurnya, meskipun pohon itu berada di tanah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa alam itu mesti dijaga.” Tutur I wayan.

Seputar tradisi perayaan yang ada di Agama Hindu juga disinggung. Sejak dari perayaan Hari Nyepi, Hari Raya Galungan, dan Hari Raya Kuningan.

Perayaan-perayaan itu, tentu saja, memiliki makna tersendiri. “Hari raya Kuningan, misalnya, bermakna bahwa manusia kesunyian, ketenangaan. Bisanya saat itu kami bersyukur dengan cara makan nasi tumpeng (kuning),” I wayan menjelaskan.

Berikutnya adalah sesi dialog, tanya jawab. Krismanto, mahasiswa asal kampus unswagati, menanyakan tentang makna kematian bagi Agama Hindu. Dan dijawab oleh I wayan Suardika dan I Made Budiana, bahwa kematian adalah kembali ke relasi alam, manusia dan pencipta. Pada agama Hindu sendiri, terdapat keyakinan tentang reinkarnasi.

Pertemuan bulanan kali ini dihadiri sekitar 150 orang, di antara dari Patria (Pemuda Terravada Indonesia), Gereje Kristen Pasundan Cirebon, IPNU-IPPNU, Lembaga Pers Mahasiswa Fatsoen IAIN Cirebon, Unswagati, Majelis Agama Khonghucu Cirebon (MAKIN), Khudam JAI, Lajnah Imailah Manislor, JAI Cirebon, JAI Indramayu, Pesantren Jambu Babakan Ciwaringin, Muda-Mudi Hindu, Sekolah Penabur, GBI Pekiringan, JKI Anugerah, OMK st. Yosep Cirebon, IAIN Syekh Nurjati Cirebon,  Pengurus Cabang Muhammadiyah Cirebon, Bunda Maria Cirebon.


Notulensi: Yuri Asriati
penyuting: Abdurrahman Sandriyanie
Dokumentasii: tim media & publikasi (ali, jihan, Aulia)

 

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.