Demokrasi dan Kebebasan Beragama-Berkeyakinan di Indonesia

Demokrasi dan Kebebasan Beragama-Berkeyakinan di Indonesia

Oleh: Haryono*
(wakil ketua umum Pelita Perdamaian)

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga Negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga Negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.[1]

Disisi lain demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti persamaan, keadilan, kebebasan, hak asasi manusia, dan lainnya.

Indonesia adalah salah satu Negara yang menganut sistem demokrasi, dimana Negara wajib menegakkan asas persamaan, keadilan dan kebebasan dalam hal apapun termasuk persoalan agama sesuai dengan yang tercantum dalam Konstitusi. Sejak kelahirannya Indonesia telah mengenal dengan dekat nilai-nilai universal. Bahkan, pendiri Indonesia dengan latar belakang mereka yang beragam telah ditempa oleh keragaman tersebut dalam upaya mereka untuk merancang dan memahami Indonesia.

Jadi sejak awal, Indonesia pada dasarnya adalah kesepakatan untuk hidup bersama secara damai dalam keberagaman untuk mencapai mimpi yang sama. Prinsip ini sangat tercermin dalam semboyan Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam, namun Indonesia bukanlah Negara Islam. Melalui sila pertama dalam Pancasila, Indonesia benar-benar memuliakan nilai-nilai agama saat memberikan warganya kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Kebebasan beragama di Negara kita mengacu pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2, bahwa setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu. Pada tataran hukum yang demikian, kebebasan beragama harus dipahami sebagai kebebasan untuk memeluk agama, apapun agamanya. Sayangnya, ketika warga Negara menentukan kebebasannya, justru Negara sendiri tidak menjalankan perlindungan secara hukum, alias diskriminatif, uatamanya dalam hal melindungi kelompok agama yang sering ditindas dan dimarginalisasi karena minoritasnya.

Selain Pasal 29 Ayat 2 diatas, Pasal 28 E ayat 1 UUD 1945 juga menjelaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Kewajiban Negara melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan mengandung pengertian Negara tidak mempunyai wewenang mencampuri urusan agama dan kepercayaan setiap warga Negaranya. Sebaliknya, Negara harus memberikan perlindungan terhadap setiap warga Negaranya untuk melaksanakan ibadah keagamaan dan kepercayaan.

Dalam level institusional, kebijakan toleransi beragama telah dirumuskan dalam perundang-undangan, namun dalam level praksis, rumusan yang bagus tersebut belum bisa diterjemahkan secara sempurna oleh masyarakat akar bawah ke dalam kehidupan sehari-hari, terbukti dengan masih adanya gejolak-gejolak di masyarakat yang mengusung issu agama. Oleh karena itu diperlukan adanya sinergi antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan masyarakat sebagai pelakunya. Dalam membuat kebijakan, pemerintah harus memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang, sehingga kebijakan yang dibuat bisa diaplikasikan. Pemerintah juga harus proaktif mendorong terwujudnya toleransi beragama dan memfasilitasi keinginan masyarakat untuk mendekatkan antara agama satu dengan agama lainnya atau antara aliran satu dengan aliran lainnya.

Menilik kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta sulitnya pendirian rumah ibadah belakangan ini, kita dapat melihat bahwa Negara telah gagal menjalankan kapasitas pertamanya, yaitu perlindungan hukum dan keamanan. Dalam kasus JAI Manis Lor Kuningan, GSPDI Pilang Cirebon, HKBP Kuingan, dan terbaru yaitu pengusiran kegiatan umat Kristiani di toserba Asia serta penolakan tempat ibadah terhadap GBI Pekiringan Cirebon. Disini jelas bahwa Negara tunduk pada massa dengan mempersulit pendirian rumah ibadah. Negara seperti tak kuasa memberi solusi dan jalan tengah. Aparat keamanan pun tak berdaya mengamankan beberapa kali kegiatan ibadah yang berujung pada kericuhan.

Satu hal esensial dalam Negara demokrasi, termasuk Indonesia, adalah hak berpendapat. Termasuk dalam hal ini adalah hak menolak kehadiran rumah ibadah dan kelompok agama dan kepecayaan. Demokrasi memberi ruang bagi warga Negara untuk dapat saling membenci. Ia tidak mensyaratkan setiap individu harus begini atau harus begitu. Al hasil di Indonesia sampai saat ini masih sibuk membicarakan persoalan agama.

Demokrasi di Indonesia lebih banyak bicara tentang bagaimana Negara dan sistem mengelola tensi yang ada dalam masyarakat. Perangkat Negara mulai dari birokrasi hingga aparat keamanan merupakan alat yang harus dipakai untuk mengelola tensi itu. Terlebih kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi tensi tersebut sering kali tidak tegas, demi keamanan dan ketertiban umum mereka melakukan tindakan diskriminatif terhadap penganut agama dan kepercayaan tertentu, padahal konstitusi jelas menjamin keberadaan meraka. Pemerintah harus sadar akan tindakannya tersebut, yang memberikan ruang kepada orang-orang yang melakukan tindak kekerasan beragama dan berkeyakinan untuk melakukan penekanan terhadap satu golongan agama dan kepercayaan yang mereka tidak sukai. demokrasi-nono

Hal ironisnya adalah perkembangan terkini menunjukkan bahwa organisasi massa radikal sebenarnya masih segan kepada Negara, dengan catatan Negara bersikap tegas dan berwibawa. Hal ini dapat dilihat antara lain dari sikap salah satu ormas yang buru-buru melakukan klarifikasi pasca Kapolri menyarankan pembubaran ormas anarkis. Pertanyaannya kemudian, apakah Negara mau menjaga wibawanya sendiri? Apakah para pemimpin kita mau pasang badan untuk issu sesensitif ini? Salah total bila pemerintah memandang demokrasi meminta minimnya campur tangan pemerintah. Sebaliknya, justru dalam demokrasi, tensi dan konflik sosial akan sering terjadi. Di sanalah pemerintah harus hadir untuk menjadi penengah dan pelindung bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan.


*Tulisan ini merupakan bagian awal dari proses kelas penulisan yang diselenggarakan pelita perdamaian, dibedah dan dijadikan bahan kritik penulisan pada 01 Februari 2017, di sekretariat pelita Cirebon 

ilustarisi: IHIR.org