
Pelitaperdamaian.org. selepas malam harinya, Jumat (31/03), Peserta live in dari GKI Klasis Cirebon (GKI Pamitran dan GKI Jatibarang) sudah perlahan melebur dalam iklim kehidupan pesantren. Hal itu terlihat saat makan malam, secara bersama-sama di jerambah (halaman pesantren) dengan puluhan santri lainnya.
Tradisi makan bersama yang terdapat pesantren memiliki penamaan yang bervariasi; sebagian menyebut mayoran, atau nampanan, juga reriungan, tetapi yang pasti tradisi makan bersama dalam satu wadah merupakan ajaran Nabi Muhammad yang sampai hari masih dipertahankan oleh Pesantren, seperti yang disampaikan oleh Imbi Muhammad selaku kepala madrasah pesantren Bapenpori.
Sebelum makan bersama dimulai, peserta juga ikut berduyun-duyun memasak terlebih dahulu. Setelah selesai, hidangan akan disajikan ke sebuah wadah, biasanya memakai daun pisang, atau nampan (red istilah Jawa: Tapsi). Saat tiba waktu solat Isya, santri pesantren seperti biasa menunaikan kewajiban solat berjamaah. Sedangkan yang dari Kristiani akan kembali ke aula, sembari menunggu sesi materi selanjutnya dengan pembacaan renungan malan.
Dalam sistem pendidikan pesantren tradisional, seorang santri mesti kemampuan dasar menguasai bidang ilmu alat seperti bahasa arab, nahwu, shorof, dan ilmu kebahasaan lainnya. hal ini diperuntukkan sebagai pintu masuk, cara membaca kitab-kitab klasik yang dikarang ulama salafussholihin (tempo dulu) acheterdufrance.com tentang literatur pelbagai keilmuan di antaranya: ilmu tauhid, ilmu al-quran dan hadist, tasawuf, fikih. Tiba pukul delapan malam, Ustadz Panji, mengisi sesi ‘pengenalan materi kitab kuning’ kepada peserta dari GKI Klasis Cirebon.
Perihal pembelajaran kitab Kuningan, Jonathan bw dari GKI Pamitran, menulis kesannya: “ada nuansa kearifan lokal yang ditemui pada metode belajar kitab kuning, ia menggunakan bahasa daerah sebagai cara membacanya.”
Comments Closed