
(ilustrasi :Internet)
Oleh: Syafaat Mohammad
I. Merawat Perdamaian di tengah Perbedaan
Tidak ada bahasa yang dikenal lebih indah, di mata telinga umat beragama selain bahasa tentang perdamaian. Bahasa perdamaian seolah menjadi mimpi dan tujuan seluruh penduduk negeri yang demikian juga adalah pesan agung Tuhan di muka bumi. Perdamaian sejatinya menjadi syarat, bahwa kehidupan manusia tidak akan pernah dapat berlanjut tanpa ada perdamaian di dalamnya. Bersama perdamaian, manusia dapat dengan langgeng beribadah dan bekerja dengan kerasnya, terhitung sejak awal penciptaan atau sampai kapan pun.
Merawat perdamaian tentu saja hal yang tidak mudah, semisal membalikkan telapak tangan. Sebab kata “merawat” sendiri, mempunyai arti yang lebih sulit dari kata yang mengiringi sebelumnya yaitu, “melahirkan”. Merawat merupakan sebuah kata kerja, yang mengandaikan di dalamnya pergulatan sebuah proses pekerjaan yang tak kenal henti, yang akan terus berlangsung lama, dan terus menjadi. Bahwa hanya
dengan sebuah bekal penyesuaian proses lah, pekerjaan merawat akan senantiasa mengalami perbaikan-perbaikan ke arah yang paling purna. Jamak diketahui bahwa kata perdamaian tidak lahir dari selembar kertas kosong, melainkan perdamaian lahir dari sekian coretan-coretan putih-hitam yang mewarnai sejarah panjang perjalanan manusia, yang di dalamnya tersaji tragedi konflik dan peperangan.
Apabila ditelusuri lebih mendalam, bahwa salah satu akar dari sebuah konflik di antara manusia beragama adalah berkisar dari ragam cara manusia mengatasi perbedaan-perbedaan keyakinan, yang tanpa disadari kemudian berkelindan dalam latar persoalan politik, ekonomi dan sosial. Sungguh niscaya, jika cara yang digunakan dalam menghadapi konflik atas tafsir perbedaan tersebut adalah tepat, maka akan baik pula lah hasil yang akan manusia beragama dapatkan.
II. Pluralisme Ambon: Sebuah Pembelajaran
Masih hangat dibenak pembaca di Indonesia, bahwa beberapa hari lalu bangsa ini kembali dikejutkan oleh konflik yang terjadi di kota Ambon. Sebagaimana dilansir oleh salah satu media cetak nasional di Indonesia, bahwa bentrokan di kota seribu pulau itu bermula dari tewasnya seorang pengojek bernama Darfin Saimen, asal Waihaong Ambon (10/09). Berita kematian itu kemudian tersebar dalam dua versi cerita masyarakat yang berlawanan, pertama murni kecelakaan dan kedua disebabkan pembunuhan. Kesimpang siuran berita penyebab kematian si pengojek inilah yang kemudian menjadi muasal konflik Ambon itu (10/9). Hanya saja, ada cerita lain di balik konflik yang mengemuka dalam bentrokan antar warga tersebut, yakni bahwa konflik di hari yang bertepatan pula dengan peristiwa Nine Eleven 11/9 di USA itu, tidak berjalan larut dan berkepanjangan, sekalipun tetap sungguh mengkhawatirkan.
Lepas dari tahun 2003, kota Ambon di Indonesia masyhur sebagai sebuah kiblat penerjemahan tentang sebuah arti ketidakmustahilan ikhtiar perdamaian. Walaupun faktanya memang benar bahwa bentrokan Ambon kemarin itu (11/9) mengorbankan beberapa warga yang terluka, terbakarnya 3 rumah serta kerusakan infrastruktur-infrastruktur lainnya. Akan tetapi, paling tidak bahwa kerusuhan memprihatinkan pada tahun 1999-2003 lalu itu tidak lagi terulang.
Akhir-akhir ini dalam sebuah koran nasional, seorang mahasiswa Doktoral Australia, Raja Juli Antoni menyumbangkan hasil studinya tentang perjalanan Konflik dan Perdamaian di kota Ambon. Bahwa ada dua alasan penting yang dipaparkan peneliti muda itu dalam mendukung keoptimisan perdamaian secara efektif di Kota Ambon, pertama yaitu ditemukannya kesadaran individu dan yang kedua berbuahnya kesadaran individu masyarakat dalam kesadaran lanjutan, pada setiap institusi keagamaan (Raja J A, 14/09 Kompas).
Kesadaran pertama yang berbasis individu adalah ketika penduduk negeri yang berada di ibu kota provinsi maluku itu pada umumnya sadar, bahwa secara keseluruhan mereka adalah korban. Dengan mendefinisikan diri mereka sebagai korban, secara otomatis muncul semangat kesetaraan dalam upaya menjalin kembali kebersamaan, yang tidak lagi berdasarkan dari agama mana korban berasal.
Dari kesadaran diri masyarakat yang menjadi korban, terbesit kemudian sebuah pertanyaan lirih, bahwa bukankah dalam kamus konflik tidak akan pernah ditemukan satu kosakata apapun tentang nilai “keuntungan”? Yang pasti ada di dalam kamus konflik, hanyalah ditemukannya kata “kerugian”, entah apakah itu berwujud dalam bentuk fisik (kehilangan harta, tempat tinggal dsb) ataupun mental (kehilangan keluarga, cacat anggota tubuh dan mental, trauma dsb).
Adalah kesadaran Institusi keagamaan, yang melanjutkan estafet “jihad perdamaian” (Longman 2010, Abu Nimer 2010), yang semula berasal dari pemupukan kesadaran individu masyarakat, yang kemudian menjadi garda terdepan perdamaian.
Kesadaran kolektif yang berada di bawah naungan institusi keagamaan ini, secara sistematis menyusun sebuah gerakan pembaharuan teologi. Gerakan ini dimulai oleh lingkup besar di kalangan Gereja Protestan Maluku (GPM), dengan keputusan tentang pentingnya membangun teologi “Gereja Pro kehidupan”, yang mengkampanyekan dengan penuh, nilai-nilai perdamaian.
Gerakan kesadaran institusi keagamaan lain pun, justru ditampilkan oleh kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku, dalam hal melakukan sebuah terobosan penting, yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh kalangan MUI di level nasional, yakni berupa pengumandangan arti penting “pluralisme keagamaan” yang bersendikan pada pemahaman Islam Universal. Kampanye pluralisme keagamaan yang mewartakan risalah perdamaian tersebut, merupakan bagian dari ijtihad mutakhir pemikir-pemikir muslim Ambon (Maluku), yang terangkum dalam gerakan pembaharuan “Islam Mazhab Ambon” (Raja J.A Kompas 14/09).
Penduduk kota Ambon yang terdiri dari dua latar agama yang berbeda (Kristen-Islam) itu memahami betul, bahwa Kristen dan Islam sesungguhnya adalah dua agama yang mempunyai akar sejarah nenek moyang yang sama, yaitu Adam dan Hawa (Qur’an 17;70). Pun halnya dengan benih-benih kebaikan, kesetaraan dan kedamaian yang lain, akan terlacak dengan mudah di setiap lembaran suci agama masing-masing. Bahwa hal yang perlu ditekan-tingkatkan ke depan adalah bagaimana ajaran suci tentang kebaikan dan perdamaian itu dapat membumi pada setiap individu dan institusi (agama maupun negara).
Syahdan, sinergisitas antara dua kesadaran di atas (kesadaran individu dan institusi agama) dengan demikian menjadi modal yang paling utama, atau bahkan menjadi model terbaru bagi metode penyelesaian konflik dan upaya perdamaian, tidak hanya bagi Ambon tapi juga bagi seluruh titik rawan lain di Indonesia.
Dan inilah sejujurnya hal yang menjadi pelajaran paling berharga bagi semua pihak di Indonesia, wa bilkhusus pihak pemerintah (yang masih bergumul dalam kebekuan prestasi), agar segera menentukan langkah intensif, yang sebelumnya sudah dimulai oleh individu-institusi keagamaan di kota Ambon itu secara mandiri, demi terwujudnya Ambon-Ambon lain yang sejuk damai, tidak hanya di muka bumi, tapi juga di hati. Semoga.
Syafaat Mohammad adalah Peneliti Kolong Ciremai Institute (KONCI) dan
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati.
Comments Closed