Conflict In Transformation: Kearifan Lokal sebagai Media Perdamaian

Conflict In Transformation: Kearifan Lokal sebagai Media Perdamaian

‘’Mempertajam persamaan dan mempertumpul perbedaan” merupakan platform bagi generasi muda yang peduli bergerak untuk  perdamaian dan toleransi anak-bangsa. sebagai generasi penerus yang mengemban pundak cita-cita, peradaban dan masa depan Indonesia ke depan, para Pemuda niscaya dalam memupuk-kembangkan sinergitas menjaga keutuhan kebhinnekaan dan nasionalisme. Entitas bangsa kita yang begitu plural dan multukultural menjadi catatan penting agar yang demikian itu –untuk para pemuda- dikelola secara baik dan ideal sesuai dengan perkembangan zaman. salah satu gagasan yang patut didesiminasikan ke permukaan, yakni Transformasi konflik.

Seperti beberapa waktu lalu, PELITA turut andil dalam merumuskan desain progam perdamaian berskala nasional bersama dengan organisasi dan komunitas lintas agama yang tersebar di 4 provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Mereka terdiri  dari jiwa-jiwa muda dan yang memiliki ide-ide segar dan kreativitas yang genuine perihal agenda-agenda toleransi dan perdamaian. Nilai-nilai kearifan budaya lokal, misalnya, dijadikan acuan agar para pemuda kita mampu ‘menengok kembali’ sejarah secara utuh, demi tujuan mengelola konflik yang ada di masyarakat. kondisi sosial-keagamaan yang terjadi saat ini, tentu saja, tidak terlepas dari akar-akar sejarah di masa silam.

Adalah Program Studi Faklutas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang menginisiasi dan memfasiltasi agenda dengan tema Joint Council tersebut, bersama dengan komunitas-komunitas lainnya mencoba merancang media baru berbasis perkembangan Ilmu Teknologi (IT) dalam mengkampenyakan pesan-pesan kearifan lokal dan perdamaian. Hasilnya, sebuah modul yang berkomposisi refleksi seputar pengalaman mengelola konflik di lapangan dibuat.

Langkah selanjutnya adalah Training of Trainer (ToT). Pada tanggal 27-28 September 2014, kegiatan itu digelar di Manislor, Kuningan-Jawa Barat. Sebagai tuan rumah, Jemaat Ahmadiyah Manislor (JAI) menyambut hangat, bahwasanya acara ToT ini merupakan langkah yang sangat baik. Pasalnya, para pemuda seyogianya secara berkesinambungan menjadi front-line ­agenda-agenda perdamaian. “Kami (komunitas JAI) sangat terbuka sekali dengan kegiatan-kegiatan yang positif, seperti kegiatan pada kesempatan kali ini. selain menambah erat jalinan tali-silaturahmi, para peserta mendapatkan pelajaran baru tentang transformasi konflik.” Ujar Pak Aang di sela-sela pembukaan acara

Ia juga menambahkan, PELITA sendiri sebenarnya sudah sering melakukan kegiatan-kegiatan serupa, misalnya melalui pertemuan bulanan.

Peserta kegiatan pelatihan yang berjumlah 45 orang merupakan perwakilan masing-masing pegiat perdamaian yang tersebar di provinsi Jawa Barat. Terdiri di antaranya: Jakatarub Bandung, Praxis In Community Bandung, Ikatan Remaja Mushola Nurul Huda Subang, JAI Majalengka, JAI Indramayu, JAI Kuningan, IPNU-IPPNU Cirebon,  PMII Indramayu, PMII Kuningan, KPLI Indramayu, PATRIA Cirebon, Pesantren Miftahul Mutaalimin Cirebon, Buntet Pesantren Cirebon, Pesantren Jambu Cirebon, Muda-mudi Hindhu Cirebon, HDH Cirebon, OMK. St Yusuf Cirebon, ISIF Cirebon,  Unswagati Cirebon, DEMA Iain Cirebon, CSPC Cirebon.

Salam pembukaan dari tuan rumah JAI Manislor usai pukul 14.00 Wib. Barulah kemudian, para peserta ToT diberikan materi pelatihan oleh Tim Fakultas Komunikasi UII Yogyakarta. Mereka diajak menyelami kembali gagasan perdamaian dan toleransi melalui perkembangan Ilmu Teknologi (IT) dan kearifan lokal, yang kesemuanya sudah terangkum dalam sebuah modul. Sambil menyelam minum air, pengisian materi diselingi permainan seru nan menggugah suasana motivasi belajar perihal bagaimana pola-pola baru menangani dan mengelola konflik. Keriangan terpancar manakala metode pengenalan & ice breaking menggunakan pendekatan psikologi. Salah satu peserta, Makmuri Abbas asal CSPC Cirebon misalnya, melukis seekor ayam yang jago saat mengenalkan dirinya ke forum acara. Hal tersebut, secara psikologis, tercerminlah ia merupakan tipikal penyuka binatang ternak yang berkepribadian unik dan jenaka.

Zaki Habibi selaku fasilitator asal UII Yogyakarta dalam kegiatan ini mengajak para peserta untuk terus menyebarkan gagasan perdamaian melalui hal-hal yang, boleh jadi, terkesan sepele dari sisi-sisi kehidupan di sekolah, kantor, dan ruang publik lainnya. Setelah tuntas agenda pengisian materi transformasi konflik yang dipaparkan oleh Tim UII Yogyakarta tersebut, pukul 17.00-19.oo Wib para peserta istirahat sejenak.

Agenda selanjutnya yakni dialog partisipatif  dan enya-enyo yang bertema ‘Merayakan Perbedaan’. Tendensi untuk mengetahui secara komperhensif nilai-nilai perdamaian dan toleransi yang terkandung setiap ajaran agama merupakan sebuah keniscayaan. Dalam ungkapan lain, menggali apa yang disebut sebagai ‘Sumberdaya Agama’ sedang diketengahkan dalam upayanya memecah kebekuan wacana dialog intra-lintas agama. Terminologi ‘Sumberdaya Agama’, di sisi lain, merupakan istilah baru yang hendak mengisi celah-celah kekosongan dalam mengampanyekan perdamaian. Hal tersebut termanifestasikan, misalnya, dengan tidak lagi mencari titik persamaan (kalimatun sawa’) di antara sesama pemeluk beragama dan berkeyakinan, akan tetapi sudah beranjak merayakan sisi-sisi perbedaan yang ada. Singkatnya, ada bentuk penghargaan untuk nilai perbedaan itu. selama durasi 2 jam, Devida dari Ketua Pelita menjadi pemantik dalam agenda kegiatan ini.

Kegiatan Training of Trainer (ToT) berhasil diselenggarakan melalui relasi kemitraan Fakultas Komunikasi UII Yogyakarta dengan PELITA, DapurDamai Jawa Barat dan JAI Manislor, Kuningan.

(By Redaksi: Sandriyanie Omen)

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.