Bhineka Tunggal Ika yang terlupakan

Bhineka Tunggal Ika yang terlupakan

oleh: Tira Nazwa Aliyyah*

Jumat, 2 September 2016, hari ini cuaca sore Kota Cirebon terlihat cerah. Cerahnya langit sore ini menyemangati langkahku untuk turut bergabung dalam diskusi Kelas Berdialektika dan Beragama (KBB) yang diselenggarakan oleh Pelita Perdamaian. Sekitar pukul 16.15 WIB, motor yang ku tumpangi akhirnya sampai di tempat tujuan, Mesjid Mubarak, Jl. Cipto Mangunkusumo Gg. Anggrek No. 75 Cirebon. Kedatanganku disambut oleh hangatnya salam keberagaman dari teman-teman Pelita; candaan dan tawa riang memenuhi ruang-ruang percakapan kami. Kristiani dan Islam saling duduk berdampingan, tanpa sekat, jauh dari kebencian; berbeda namun damai, itulah keberagaman.

Diskusi dimulai ketika jam digital di layar telepon genggamku menunjukkan pukul 16.30 WIB. Tema yang diangkat pada diskusi kali ini adalah, “Pendidikan Agama Interrelijius”. Mas Omen, selaku Moderator memaparkan garis besar tema yang akan dibahas sore ini, dan sang pemateri, Haryono, selanjutnya memperinci gagasan-gagasan yang telah diutarakan Moderator sebelumnya.

Pendidikan Agama di Indonesia menjadi perhatian utama dalam pembicaraan ini. Pendidikan agama di Indonesia itu seperti apa?

Begitulah kira-kira pernyataan moderator untuk memantik diskusi ini. Lembaga pendidikan, dalam hal ini lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Pemerintahan, seyogyanya bisa menjadi wadah pengajaran keberagaman, mengingat semboyan Negara ini Bhineka tunggal ika –berbeda-beda tetapi tetap satu-. Namun apakah benar lembaga pendidikan di negara kita sudah menjalankan semboyannya dengan baik?

Mari kita intip lembaga pendidikan terdekat, berdasarkan penelitian dan pengakuan dari siswa dan mahasiswa yang hadir dalam diskusi, pendidikan agama di Indonesia masih menganut sistem monorelijius.

Monorelijius adalah istilah yang menggambarkan pengetahuan diajarkan secara searah. Dalam hal ini, jika pada satu lembaga pendidikan mayoritas siswanya muslim, maka pendidikan agama yang diajarkan adalah Islam. Lalu bagaimana nasib siswa non muslim? Ia hanya diberi dua pilihan, mendengarkan atau pergi dari kelas. Lihatlah, lembaga pendidikan sudah jelas-jelas milik pemerintah, namun di dalamnya tidak menghargai keberagaman. Alasan tidak adanya tenaga pengajar yang memadai menjadi alibi yang sangat kuat hingga saat ini. Padahal bukankah setiap sekolah mempunyai anggaran untuk membayar tenaga pengajar bidang keagamaan? Perlu digaris bawahi, keagamaan, bukan hanya satu agama. Artinya, siapa saja berhak menjadi guru agama tanpa harus memandang jenis agamanya.

Langit mulai memperlihatkan pesonanya; rona senja mengintip diskusi kami di kejauhan sana. Makanan datang bersama secangkir minuman aneh berwarna coklat, dan baunya seperti bedak bayi namun sepertinya bukan; minuman yang entah apa itu namanya, dan baru kali ini aku mencicipinya. Diskusi berlanjut, Pendidikan agama di sekolah umum sebenarnya sudah diperbolehkan sejak masa Kolonial Belanda, namun dari mulai kemerdekaan hingga tahun 1965, pendidikan agama disajikan sebagai mata pelajaran pilihan; Sekolah tidak dibebani dengan kewajiban harus menyertakan pendidikan agama di lembaganya. Terhenti di tahun 1966, sejak keluarnya Ketetapan MPR RI No. XXVII/ MPRS/ 1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan, pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.

IMG20160902173329

dokumentasi by Sandriyanie

Tanganku sudah lengket karena minyak, pertanda sudah banyak makanan yang masuk ke mulut. Cangkir yang berisi air aneh itu masih mengepulkan asapnya; pertanda minuman masih hangat saat disajikan. Aku mengangkat cangkir itu sambil menggoyangnya pelan, kucicipi dan kuresapi wanginya yang khas. Bukan ketetapannya yang salah, diskusi masih berlanjut, sistem yang berjalan di dalam lembaga pendidikannya lah yang salah; yang mengajarkan siswanya hanya mengenal agama mayoritas saja. Seharusnya, pendidikan agama yang ada di sekolah itu diajarkan secara interrelijius.

Interrelijius merupakan kebalikan dari monoreligius, maksudnya, selain mempelajari agama yang dianutnya, siswa juga diajak untuk mengenal keberagaman yang ada di negeri ini. Monorelijius dan interrelijius sebenarnya baik, hanya saja jika 12 tahun sekolah terus-menerus diajarkan monorelijius, maka apa yang akan terjadi pada siswa itu kelak? Bukankah kita sudah melihat dampaknya saat ini, dampak dari pengajaran monoreligius yang diajarkan kepada kita dulu, yang kita rasakan adalah menghilangnya sikap saling menghargai. Keberagaman itu pupus; berbeda itu kafir. Radikalisme mewabah dengan baik.

Seruput. Satu teguk, dua teguk, lidahku meraba-raba. Benar, minuman ini memang aneh. Bukan hanya baunya, tapi rasanya juga. “Lalu setelah menyadari adanya ketimpangan pada sistem pendidikan agama di lembaga pendidikan Nasional, apakah kita hanya berhenti sampai di sini? Sekedar berdiskusi, menyadari kesalahan tetapi tidak berusaha memperbaikinya,” ucap moderator sebagai refleksi, dan pertanda diskusi akan segera berakhir. “Jika ingin merubah dan meluruskan kekeliruan ini, maka jalur manakah yang harus kita tempuh? Apakah itu jalur birokrasi atau kultural?”.

Adzan magrib mulai berkumandang, langit senja telah beranjak pergi meninggalkan kami yang masih asik berdiskusi. Jalur birokrasi ataupun kultural, ada baiknya kita pikirkan bersama-sama, dengan baik dan matang, agar selanjutnya diskusi ini tidak akan berakhir di sini. Barangkali, di luar sana banyak pemikir-pemikir yang juga ikut merasakan kekeliruan ini. Ku angkat cangkir minuman itu sekali lagi, menyeruput sisa-sisa air yang masih tertinggal di dalamnya. Minuman di cangkirku habis, adzan magrib telah usai berkumandang, dan diskusi sudah mencapai akhir. Semoga Bhineka Tunggal Ika dapat terwujud di seluruh penjuru Indonesia.


tulisan ini merupakan bagian dari reflesi diskusi dwi mingguan, 2 September 2016

*penulis adalah Direktur Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fastsoen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, bergiat di devisi riset dan advokasi pelita perdamaian 

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.