
Oleh: Omen Sandriyanie
Kata-kata tersebut ia kutip dari sebuah adagium kuno, yang persis dikatakan kepada orang-orang yang ditemuinya, pada suatu malam, di sebuah kota kecil yang sedang tumbuh ke arah megapolitan. Penanggalan kalender menunjukkan angka ke-22, bulan september tahun 2016. Laki-laki yang berperawakan agak kekar, dengan jambang yang cukup lebat; berjenggot itu, saya temui pada siang harinya, di stasiun Kejaksaan Cirebon.
Menempuh perjalanan dari Kota Yogyakarta, tak sedikitpun terpancar gurat kelelahan di wajahnya, setidaknya itu yang saya lihat. Selepas makan siang, alih-alih sebagai tuan rumah saya menentukan rute perjalanan, ia justeru yang mengajakku ke sebuah tempat. “Apakah gereja HKPB Cirebon dekat dari sini (stasiun)?” dekat, jawabku. Kami bergegas ke tempat yang dituju, berbicang dengan si empu rumah, yang kemudian berakhir pada satu kesimpulan yang saya dapatkan dari sosoknya: ia tipikal orang yang supel, mudah bergaul, dan tentu saja wawasan pengalamannya yang luas.
Ia dikenal publik dengan nama Palti Panjaitan. “Konon, kata “panjaitan” merupakan generasi ke tujuh dari Raja Batak,” tuturnya, pada kami yang sedang duduk bersila-memutar, berasyik-masyuk mendengar cerita tentang dirinya, juga perjuangan yang sedang ditempuhnya. Ada sekiranya dua puluh orang yang hadir dalam pertemuan itu, yang berasal dari jaringan lintas-agama di Kota Cirebon. Palti juga adalah Pendeta di Gereja HKPB Bekasi, Jawa Barat.
Pertemuan yang malam harinya kami lakukan itu, sebenarnya dirancang secara mendadak. Meskipun sudah jadi rutinitas dua minggu sekali kawan-kawan Pelita Perdamaian menyelenggarakn diskusi itu, yang punya konsen untuk pendidikan agama di Cirebon, tapi secara khusus, Palti Panjaitan, karena berangkat dari latarbelakangnya sebagai seorang pendeta, tema “Gereja dan Gerakan Perdamaian di Indonesia” menjadi obrolan penting yang tak begitu saja dilewatkan.
“Gereja-gereja harus senantiasa hadir dan ikut andil dalam menuntaskan masalah-masalah kemanusiaan di Indonesia, tersebab intisari dari kasih dan Iman Kritus adalah keadilan,” pungkasnya, ketika saya menyodorkan waktu ia berbicara. Palti tahu betul, pernyataannya itu berangkat dari pengalaman membina gereja sejak tahun 2007 sampai 2014, yang banyak sekali mengubah perubahan, baik paradigma dan sikap, yang ada pada dirinya. Meskipun ia menapaki jalan terjal yang berliku, yang pahit dan getirnya terasa mengental dalam urat nadinya, ketika harus melawan diskriminasi yang dilakukan Negara atas penyegelan gerejanya.
Sampai pada sesi di mana, Palti bercerita seputar Gereja HKPB Filadelfia yang berada di Bekasi, yang merupakan salah satu rumah ibadah, yang mengalami pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkepercayaan di Indonesia, yang sejak tahun 2007 sampai sekarang dilarang melakukan aktivitas ibadah, pendirian rumah ibadah, bahkan juga mengalami tindak persekusi, intimidasi dan kekerasan.[1] Sampai hari ini, jemaat Gereja HKBP terus memperjuangkan hak-haknya, dengan cara menyelenggaran ibadah di depan Istana Negara, Jakarta. Di situlah, awal mula perjuangan Palti dimulai.
Pengalaman Palti sebagai warga negara yang dirampas hak beribadahnya, pada satu sisi, mengubah secara fundamental kemampuan dan pengalamannya melakukan advokasi dalam konteks isu kebebasan beragama dan berkepercayaan di Indonesia, yang pada sisi selanjutnya, ia didapuk menjadi koordinator nasional Sobatkbb (Solidaritas Korban Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan) oleh kawan-kawan seperjuangannya.
Sobatkbb sendiri lahir dari rahim perjuangan para korban, yang secara de facto terbentuk pada tahun 2013. Gerakan yang, menurut saya, baru, relevan dan berhasil mengisi celah kekosongan dari sekian hal yang sama seputar isu hak asasi manusia secara luas di Indonesia. Jaringan solidaritas para korban dan pro korban, gerakan ini memiliki fokus pemulihan untuk korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan, hampir di seluruh wilayah di Indonesia
Kedatangannya ke Cirebon dan beberapa titik wilayah lainnya di Jawa Barat (esoknya kami berangkat Kuningan dan Tasikmalaya), masih satu tarikan nafas dengan agenda sobatbb, yang sedang melakukan agenda advokasi dan pemulihan di sepuluh wilayah Indonesia pada tahun ini: Aceh, Mataram, Makassar, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Medan, Padang, dan Jawa Barat.
Dalam hal tertentu, Palti terlihat memantik diskusi laiknya seorang kawan sejawat yang lama tak bersua dan baru bertemu kembali; ada jeda tawa mengiringi dan kehangatan terbalut, yang secara alamiah hadir di pada pertemuan itu. Gaya bicaranya terkesan santai, pelan, tapi menusuk pada jantung persoalan. Salah satunya, ketika Pendeta Santa dari GKPI Cirebon, berkeluh-kesah perihal kesulitannya membangun Gereja, yang ia merasa bagian perjalanan tak pernah ditemui di hidupnya. Ia pun merasa sendiri.
“Perlunya berjejaring antar komunitas itu, ya karena memang kita harus membuka-diri, kita harus terus bersatu, masalahnya terletak bukan siapa minoritas dan mana yang mayoritas, tapi perjuangan menegakkan kebebasan beragama yang jadi bagian inheren konstitusi Indonesia,” Ujar Palti merespon.
Sesi diskusi berakhir pada pukul sembilan malam. Literatur, bentuk-bentuk paradigma, sampai sejarah dan konteksnya dengan kehidupan hari ini perihal gereja dan gerakan perdamaian, yang secara luas dari peta global dunia, yang Palti sajikan menambah wawasan dan pengetahuan bagi kami. Ada berbagai pekerjaan rumah yang, dari pertemuan itu, yang kami anggap menjadi landasan pacu gerakan perdamaian dan pemulihan yang bakal dilakukan menjadi entry point perjuangan di Jawa Barat.
[1] Ulasan lebih lanjut, kami sarankan pembaca untuk jeli dan memilah informasi yang akurat dan komperhensif mengenai kasus pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepecayaan di HKPB Filadelfia berdasarkan sumber yang otoritatif, salah satunya yang ditulis sendiri oleh Pendeta Palti Panjaitan: http://www.andreasharsono.net/2012/03/gereja-hkbp-filadelfia.html
Comments Closed