Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) sebagai salah satu paham keagamaan dalam Islam, tak dimungkiri, banyak sekali menyumbangkan kontribusi serta produksi keilmuan dan pengetuahan khazanah keislaman di dunia. Untuk konteks di Indonesia sendiri, basis aswaja termanefestasikan oleh kehadiran pesantren-pesantren di seluruh tanah nusantara. Dalam perjalanannya –sejak masa prasejarah sampai hari ini, baik asjawa maupun pesantren, dua kutub yang saling mengikat itu, mewarnai konstelasi perjalanan bangsa Indonesia. Lalu bagaimana hal-hal demikian itu mampu menjawab persoalan masyarakat dari masa-masa ke masa?
Prof. KH. Chozin Nasukha mencoba menawarkan cara pandang baru dalam kaitannya membaca aswaja dan pesantren. Melalui runutan magnum opus-nya, ia yang sekaligus juga Rektor Institute Study Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, menelaah kembali kajian-kajian keislaman pada bukunya yang berjudul: “Diskursus Kitab Kuning: Pesantren dan Pengembangan Aswaja”. Atas kerjasama kampus ISIF dan PCNU Cirebon, buku tersebut dihadirkan dalam acara bedah buku yang diseleggarakan di Gedung NU, Sabtu, 28 Februari 2015.
Acara yang dimulai pada pukul 09.00-13.00 Wib, dihadiri oleh beberapa ulama yang datang dari wilayah III Cirebon. Menarik, saat pemaran pertamanya, Abah Chozin –begitu sapaan akrab beliau- mendaraskan bagaimana historisitas penamanaan dan pengkondifikasian kitab kuning.
“Dalam penelusurannya ternyata nama kitab kuning digunakan oleh Eropa. Karena mereka lihat kitabnya kuning. Kitab kuning ialah kitab bahasa arab yang digunakan pesantren, tanpa ada titik maupun koma. Kitab kuning yang berkembang dalam bahasa jawa biasanya,”Jelasnya
Lanjutnya juga, “Pesantren adalah pendidikan tertua di Indonesia menurut Dr. Zamali. Siapa yang mencetuskan pertama kali nama kitab kuning. Ini berawal ketika gerakan Rasulullah. Disinilah dimulai yang namanya kitab kuning. Karena adanya penurunan ayat-ayat Al-Quran, walaupun belum tertulis. Setelah wafat, barulah pembukuan Al-Quran. Umar bin Khatab itu orang yang mendengarkan hadis-hadis dan ayat-ayat Al-Quran. Umar bin Khatab tidak banyak membaca teks-teks, melainkan dia tangkap ide-idenya”.
Menjawab Tantangan Zaman
Problem umat dari masa ke masa, tentu saja, membutuhkan satu pendekatan yang berbeda dan penyelesaian yang baru pula. Kyia Chozin, begitu saat ia mencoba berdiskusi dengan para hadirin, memaparkan tentang perlunya untuk mengkritisi tradisi keilmuan kekinian yang mengalami stagnasi, hanya membaca dan mengamalkan, tidak sampai pada taraf memproduksi ilmu pengetahuan.
“Saya kira, perlu merumuskan teori Ekonomi Aswaja, Sosiologi Aswaja, Pendidikan Aswaja, misalnya,” Ungkapnya.
Pembahasan yang kian menghangatkan suasana keilmuan itu; mengenai genealogi keilmuan aswaja dan kitab kuning, kemudian dilanjutkan dengan menyoroti sejarah pesantren-pesantren yang ada di wilayah III Cirebon. Perspektif yang digunakan oleh Kyia Chozin berbeda dengan pola yang digunakan oleh orang-orang Orientalis. Baginya, pesantren di Cirebon memiliki kekhasan tersendiri dalam segi tradisi keilmuan dan budayanya.
Di sela-sela silang pendapatan dan perdebatan hangat antara pemarapan Kyai Chozin dan para Tokoh Ulama NU dan kyia-kyia itu, muncul keunikan yang mewarnai sekaligus menggugah suasana forum. Yohanes Mulyadi, Bapak paruh baya asal Jemaat Gereja Katholik Bunda Maria Cirebon, yang juga dewan pembina PELITA, betutur kisah kepada para hadirin mengenai perjumpaannya dengan umat Islam, kalangan pesantren khususnya, yang bertebar kehangatan, perdamaian dan kasih-sayang
(By; Sandriyanie Omen)
Comments Closed