Bahtera Untukmu

Bahtera Untukmu

Oleh: Lika Vulki

Di pesisir pantai Utara Aceh yang menjadi daerah industri, Lhokseumawe 23 tahun yang lalu sering disebut kota dolar. Di antara barisan pabrik penghasil pupuk Urea, minyak, dan kertas; ada sebuah keluarga kecil yang berasal dari Kuningan (Jawa Barat). 23 tahun silam saat masa-masa kejayaan Lhokseumawe, lahirlah seorang gadis mungil dari keluarga itu. Lika Vulki, begitulah nama yang diberikan oleh ayahnya.

Lika Vulki yang dibesarkan dalam kondisi yang serba berkecukupan, menjadi pribadi yang manja dan ceria. Hingga tiba satu masa yang kelam dalam hidupnya saat konflik di Aceh. Sparatisme GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di tahun 1999, menjadikan Lika kecil berada dalam atmosfer yang tidak selayaknya dialami oleh anak-anak seusianya. Menjadi makanan sehari-hari pemandangan orang yang mati digantung tanpa kepala di atas jembatan, para inong bale dengan pedang dan baju yang berlumuran darah, dan suara tembakan yang terdengar seperti petasan di tahun baru. Bahkan sempat juga menjadi sandera saat pulang sekolah, karena bis jemputan sekolahnya dihentikan oleh GAM. Demi keselamatan, Lika kecil diungsikan oleh ayahnya ke kampung halaman ibunya, Kuningan.

Di Kuningan, dia besar dalam komunitas yang homogen. Semua warganya 85% adalah anggota komunitas Ahmadiyah. Desa Manislor yang penuh cinta dan kasih sayang tersebut berada di bawah kaki Gunung Ciremai. Lika si anak pantai yang berayah Betawi dan beribu Sunda, hanya merasakan sebentar suasana damai dan sejuk di Desa Manislor. Belum juga sembuh trauma pada Lika kecil, kini dia harus menghadapi kembali suasana konflik yang mencekam. Bahkan puasa pertamanya di bulan Ramadhan harus dilalui dengan berperang untuk mempertahankan diri dari serangan orang-orang yang anti Ahmadiyah. Batu, ketapel, dan cairan cabe, telah siap sedia dipegang oleh anak-anak seumurannya. Lika si anak pantai yang kini menjadi anak gunung pun kembali menghadapi masa-masa yang tidak seharusnya dialami anak normal seusianya. Bayang-bayang menyeramkan dalam dua koflik tersebut selalu menghantuiya, Lika kecil tumbuh besar menjadi seorang remaja yang paranoid dan fobia terhadap keramaian.

Pasca perjanjian Helsinki, konflik di Aceh telah berakhir. Lika kembali ke Lhokseumawe untuk penyembuhan traumanya. Bagi Lika, masa-masa terindahnya adalah masa SMA. Tak ada konflik, tidak ada diskriminasi. Lika remaja tumbuh dengan hobi membaca dan olahraga, hobi yang mengantarkannya untuk melihat dunia luas. Disela kesibukannya menjadi seorang atlet karate, Lika remaja mencari jati dirinya. Mengingat kembali setiap kejadian dalam hidupnya. Berusaha mencari jawaban tentang jati dirinya. Siapa Lika? Untuk apa Lika hidup? Dan masih banyak pertanyaan lain yang mencuat di sel saraf Neurotransmitter, seperti benang kusut yang tak menemukan pangkal-ujungnya.

Saat masih SD, dia pernah bertanya kepada sang ayah tentang arti namanya. Sebab, namanya yang hanya terdiri dari dua suku kata dan 9 huruf selalu mengundang rasa penasaran orang yang mendengarnya. Ayahnya hanya menjawab bahwa Lika Vulki memiliki arti Bahtera Untukmu. Kala itu, Lika menelan mentah apa yang ayahnya katakan. Dia hanya berpikir bahwa ayahnya memberikan nama tersebut karena dia lahir di pesisir pantai. Hanya itu.

Lika remaja kembali berlayar menuju Gunung Tangkuban Perahu untuk memenuhi undangan kuliah di jurusa Fisika. Selama dua tahun melanglang buana di kota kembang, ia semakin paham alasan ayahnya menghadiahkan nama Lika Vulki untuknya. Nama yang singkat, tapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Terlebih lagi saat ia baru mengetahui bahwa namanya berasal dari dalam Alqur’an. Salah satunya terdapat pada secuplik ayat dalam surat Yasin.

Ia tak sependapat dengan perkataan Shakespeare, “apalah arti sebuah nama, bahwa mawar akan tetap harum sekalipun tak bernama mawar.”

Menurutnya, betapa pentingnya memahami makna dari nama sendiri. Benar adanya yang dikatakan sebagian orang bahwa nama adalah doa yang melekat seumur hidup pada diri seseorang. Seperti yang dia lakukan saat kesehatan jasmani dan psikisnya berada pada titik nadir. Makna dari namanya yang mampu membuatnya kembali bangkit untuk mengembangkan kembali layar, agar tidak karam. Ombak dan badai di samudera kehidupan yang dulu sempat membuatnya takut, kini seiring ia paham doa yang ayahnya selipkan dalam nama Lika Vulki, ombak dan badai menjadi hal yang ia syukuri. Ombak dan badai justru membuat sang Bahtera terus melaju menuju tujuannya. Bahtera yang terlalu diam di tengah samudera, hanya akan membuatnya karam. Itulah sebabnya Tuhan membuat Lika Vulki tak pernah diam di suatu tempat dalam jangka waktu yang lama. Agar dia segera tiba pada tujuan hidupnya.

Bahtera yang dulu nyaris karam, sekarang berada di pegunungan Ciremai. Mengokohkan kembali dan menambal segala yang rapuh. Sama halnya seperti Bahtera Nuh yang disiapkan di atas pegunungan. Banyak orang yang menyepelekannya dan menganggapnya hal yang mustahil bahwa sebuah Bahtera berada di pegunungan. Lihatlah suatu masa yang sudah ditentukan oleh Tuhan.

Bahtera Nuh ini untukmu, untukmu yang beriman kepada Tuhan bersiaplah untuk berlayar menyebar perdamaian di samudera kehidupan, dengan peta Alqur’an serta menuju satu tujuan: r i d h a Tuhan. Sekian.


* Penulis adalah Jemaat Ahmadiyah Manislor, Kuningan dan Juga anggota PELITA

Keterangan Foto: Masjid An-nur Manislor

 

 

 

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.