B e r k u m p u l n y a M e r a h – J i n g g a

B e r k u m p u l n y a   M e r a h  –  J i n g g a

Oleh :Abdul Rosyidi

Sore itu, di balai berukuran 6 persegi suasana tampak riuh rendah. Orang-orang berkumpul sambil menunggu acara di mulai. Sejurus kemudian, pria berbadan kekar namun ramah menyita perhatian dengan berbicara di tengah khalayak. Pria itu adalah Frans, pemeluk Katolik yang juga penyiar radio Gratia FM. Dia didapuk menjadi pembawa acara dalam acara ramah tamah di Pura Agung Jati Pramana, Perumnas, Kota Cirebon, Selasa malam (14/2).

Dengan tema acara membangun keakraban umat beragama, Frans malam itu membawa peserta untuk turut serta dalam permainan. Permainannya sederhana, seperti permainan yang biasanya dibawakan di berbagai macam pelatihan, out bound dan lainnya. Tapi siapa sangka permainan yang biasa saja tersebut menjadi menghebohkan dan sama sekali seru. Bisa saja demikian, karena Frans tidak mengajak peserta biasa, yang berasal dari satu latar belakang agama yang sama. Melainkan dia menjembatani pemuda-pemudi yang berlainan keyakinan, beda agama. Tidak mudah memang, tapi ajaib, keakraban dan tawa tersebar di setiap sudut ruangan.

Jangankan berkumpul, bercanda dan tertawa bersama. Di Indonesia, bertemu dengan orang berlainan agama memang kadang menimbulkan syakwasangka. Dan Frans tahu benar kesulitannya sebagai pembawa acara. Tugas dia mencairkan suasana dan berusaha menyatukan irama, dengan melupakan sejenak fanatisme keagamaan yang biasa tiap hari dibawa peserta. “Permainan bisa melupakan sejenak perbedaan. Perbedaan agama, ras, jenis kelamin, suku, bahasa, dan lain-lain. Permainan membuat suasana cair dan kemudian membuat orang sudi untuk saling mengenal dan memahami”, beber Frans.

Kembali lagi menurut Frans, dia menyitir pribahasa jawa “Witing tresno jaleran soko kulino”. Siapa tak kenal, maka dia tak sayang. Langkah pertama dari kerukunan umat beragama adalah saling mengenal perbedaan, bukan mengabaikannya dans eolah-olah kita itu sama, nyatanya kita memang berbeda. Hanya saja yang penting disini adalah saling mengenali dan menyikapi perbedaan tersebut. Apalagi yang peragakan selain perbedaan-perbedaan. Dia ditunjukkan tatkala para peserta mengenakan berbagai simbol agama, ada yang membawa peci, ada yang berkerudung, ada yang memakai ikat bali, ada yang memakai kalung salib, ada yang bermata sipit, dan lain-lain.

Inilah yang disadari betul oleh ketua Pemuda Lintas Iman (PELITA) Cirebon, Devida. “Kami pemuda-pemudi lintas iman Cirebon dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan dari pihak manapun berkumpul. Ada yang berasal dari agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan Penghayat. Semuanya berkumpul, saling mengenal menghormati satu sama lainnya”, himbau  pemuda asal Celancang tersebut.

Setelah permainan selesai, seluruh peserta dipersilahkan untuk mengunjungi daleman (tempat suci dari umat hindu). Di dalam bangunan yang berarsitektur khas Hindu, pemandangan kanan kiri seolah-olah membawa raga berada di Bali. Gapura dan candi dengan ukiran mirip candi-candi hindu tempo dulu. Kesan tersebut bertambah saat sebelum memasuki daleman, oleh para pengurus Pura, para pengunjung diminta untuk mengenakan kain yang diikatkan di pinggang dan sudi diciprati air suci sebagai tata karma memasuki daleman.

Di daleman itu kemudian salah satu pemuka Hindu, Nyoman Kertabumi menjelaskan segala hal dalam agamanya. “Kami tidak menyembah patung, kami tidak menyembah benda mati. Mereka adalah perantara, kami menyembah Tuhan yang Esa, Hyang Widi saja”. semua peserta pun mengangguk tanda mengerti. Dalam raut wajah mereka tersisa rasa tak percaya, bahwa keyakinan nyoman tak jauh beda dengan iman pada Tuhan-Tuhan mereka. hanya takdir kesejarahan-lah yang membuat agama manusia menjadi merah dan jingga. (Blakasuta, edisi 28 Maret 2012)

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.