Pesan-Pesan Sunan Drajat untuk Kemanusiaan

Pesan-Pesan Sunan Drajat untuk Kemanusiaan

sumber foto : tahtamataram.com

Oleh   : Moh. Abdul Mugis*
Editor : Dias Alauddin 

Raden Qosim atau biasa dikenal dengan Sunan Drajat, merupakan salah satu dari Wali Songo (Sembilan wali) yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa khususnya. Beliau adalah putra kedua dari perkawinan Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila alias Dewi Condro Wati.

Saat ia beranjak dewasa dan telah menguasai ilmu agama yang diajarkan oleh sang ayah, beliau hijrah menuju desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Di sinilah beliau memusatkan dakwahnya, dengan membangun sebuah pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, dan sebagai media penunjang pengembangan masyarakat

Di dalam dakwahnya Sunan Drajat tidak jauh berbeda dengan Wali Songo lainnya. Yaitu dengan menggunakan pendekatan secara kultural atau dengan memahami tradisi yang mengakar dimasyarakat. Salah satu media yang dipakai Sunan Drajat yaitu dengan membuat tembang pangkur, yang terdiri dari beberapa lariklagu yang berisi kearifan hidup sebagai andalannya. Melalui tetembangan ini, Sunan Drajat mampu menarik rasa keingintahuan masyarakat untuk menyisipkan muatan agama didalamnya.

Pesan dakwah yang menjungjung tinggi nilai nilai kemanusiaan hingga saat ini masih terlihat jelas ditembok maqbaroh (makam) Sunan Drajat, kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Yaitu wenehono teken marang wong kang wuto (berilah tongkat kepada orang yang tidak bisa melihat), wenehono mangan marang wong kang keluen (berilah makan kepada orang yang lapar), wenehono sandang marang wong kang kawudan (berilah pakaian kepada orang yang tidak berpakaian), dan wenehono payung marang wong kang kaudanan (berilah payung kepada orang yang kehujanan), keempat nasihat ini merupakan pilar dakwah yang dikembangkan oleh Sunan Drajat dalam penyebaran agama Islam, sehingga Islam hadir dengan wajah penuh kedamaian.

Jika mengambil salah satu pesan Sunan Drajat yang berbunyi “wenohono payung marang wong kang kaudanan (berilah payung kepada orang yang kehujanan). Payung disini memiliki makna tersirat sebagai perlindungan sedangkan orang yang kehujanan disini bermakna luas, bisa segala bentuk ketidakadilan kepada kelompok atau individu.

Mengimplementasikan pesan-pesan dari Sunan Drajat dalam kehidupan akan mengantarkan kita kepada pribadi yang saling mengasihi sehingga tidak akan ada lagi penindasan dan ketidakadilan kepada kelompok yang lebih lemah (minoritas) sekalipun.

Makna payung, juga bisa diartikan sebagai perlindungan kepada warisan budaya dengan cara merawat cagar budaya dan bangunan bersejarah. Pada UU No.5/1992 yang dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1993, secara rinci mengatur perlindungan bangunan tua yang masuk kategori cagar budaya. Dalam Bab V pasal 22 – 27 tertulis rincian aturan menyangkut perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya. Di situ disebutkan bahwa setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melakukan perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya yang dimiliki. Sayangnya, fakta yang ada saat ini banyak sekali bangunan atau situs situs bersejarah yang kurang perlindungan dari pemerintah dan terkesan dilupakan.


*Penulis adalah Koordinator Departemen Bulanan Pelita Perdamaian 2018-2020.

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.