
Oleh : M. Hamdan*
Editor : Dias Alauddin
Ceramah adalah seni menyampaikan pesan kepada audiens. Kata ceramah sendiri lebih identik dengan persoalan agama. Tempat yang paling utama untuk mengadakan ceramah adalah di rumah ibadah. Selain itu, ceramah juga sering dilakukan pada momen-momen perayaan hari besar. Orang berduyun-duyun datang mendengarkan ceramah untuk mendapatkan ajaran keagamaan dan kehidupan yang lebih baik. Bahkan pada masa kini, ada sesi dimana pendengar dipersilahkan untuk memberikan pertanyaan.
Dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, kini orang tidak harus menempuh jarak jauh untuk mendengarkan kebutuhan rohani tersebut. Mereka bisa melakukannya dengan berdiam diri di rumah dengan menonton tv, bahkan sambil tiduran di kamar. Banyak sekali ceramah yang sudah kita saksikan dari layar genggam smartphone kita, asal terkoneksi ke internet.
Sifat internet yang begitu sangat terbuka membuat sebagian orang mudah mencari apa yang diinginkan. Keterbukaan itu juga memudahkan siapa saja bisa mengunggah sesuatu, termasuk ceramah dalam bentuk video. Untuk itu, sebagai warganet yang setiap harinya menikmati konten termasuk ceramah didalamnya, haruslah diiringi sikap yang bijak untuk menentukan mana yang layak dikonsumsi atau tidak.
Sikap bijak dan teliti sangat diperlukan oleh warganet. Dalam menikmati konten video ceramah di internet, warganet harus tahu bagaimana rekam jejak keilmuan si penceramah. Banyak ustad dadakan yang dengan lantang tampil seolah dia paling alim, padahal apa yang ia sampaikan bisa saja jauh dengan ajaran Islam sesungguhnya. Modal mereka tidak jauh dari permainan logika yang sering menjebak pendengar. Sudah seharusnya, warganet tidak menelan mentah-mentah apa yang mereka sampaikan, terlebih dengan sumber keilmuan yang tidak jelas.
Televisi Jangan Salah Pilih Ustadz
Menjelang bulan suci ramadhan, televisi tentu akan dipenuhi oleh konten-konten bernuansa Islami, akan banyak acara-acara ceramah yang ditayangkan. Kebutuhan publik ini sudah seharusnya dibarengi oleh kejelian stasiun televisi dalam memilih penceramah. Karena Televisi masih memiliki pengaruh luar biasa, tontonan televisi bisa menjadi tuntunan. Seringkali televisi asal pilih penceramah, tidak memilih dari segi keilmuan, melainkan hanya dari popularitas.
Televisi harus menampilkan penceramah yang bisa menyejukkan jamaah. Jangan hanya mementingkan rating, sehingga kualitas tidak lagi penting. Lebih-lebih, acara ceramah hari ini sering diadakan sesi tanya jawab. Biasanya si penceramah langsung menjawab apa pun pertanyaan itu dengan sangat cepat, seolah penceramah itu tahu apa pun tentang kehidupan yang pelik ini, hasil jawaban pun tak sedikit yang sebenarnya mengecewakan. Jarang sekali ada penceramah di televisi yang legowo untuk tidak menjawab ketika mereka memang tidak tahu.
Kriteria penceramah yang baik bisa disamakan dengan kriteria orang yang menyampaikan hadits, karena penceramah dan penyampai hadits sama dalam hal menyampaikan ilmu. Kriteria penyampai hadits sendiri mempunyai dua hal. Pertama, dia harus orang yang adil, adil disini berarti dia tidak pernah melakukan dosa besar, dan tidak sering melakukan dosa-dosa kecil, seperti menghina orang lain. Kriteria yang kedua yaitu dlobit, dalam hal keilmuan dia harus cerdas dan memiliki ingatan yang kuat, selain itu dia juga harus bisa mempertanggungjawabkan keilmuannya.
Ceramah Itu ramah
Ceramah itu seharusnya ia membuat jamaah menjadi lebih ramah bukan marah-marah. Sayangnya, seringkali kita melihat penceramah yang memaki-maki orang lain, seolah mereka paling benar sendiri dan yang lain salah. Sehingga selesai mendengar ceramah, jamaah bukannya mendapatkan kesejukan, tetapi malah membangkitkan amarah.
Penceramah selain harus alim, ada hal yang lebih penting yang harus ia perhatikan, yaitu etika. Penceramah yang menjadi panutan, sudah seharusnya dibarengi dengan etika yang penuh sopan santun dan saling menghargai, bukan saling menjatuhkan. Bahkan ia dituntut untuk mengamalkan kebaikannya di luar waktu ia berceramah.
*Penulis adalah Pengurus Departemen Riset dan Kajian Pelita Perdamaian 2018-2020 dan Mahasiswa Filsafat Agama (FA), Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.
Comments Closed