Tasamuh

Tasamuh

sumber foto : Daillysocial 

Oleh  : Syafaat Mohamad*

Pelita Perdamaian, tasamuh dalam Islam ghalibnya dipahami sebagai suatu keadaan harmonis secara fisik, mental, spiritual dan sosial. Berdamai dengan Tuhan lewat ketaatan, dan berdamai dengan sesama manusia dengan menghindari pelanggaran. Di dalam tasamuh manusia senantiasa dihantarkan pada nilai-nilai kedamaian.

Perbincangan tentang tasamuh menjadi hal yang populer, mewah sekaligus terasa mahal, terutama jika dikaitkan dengan kondisi global keberadaan umat manusia yang saat ini berjalan kian beragam.

Meski sejatinya bahwa keberagaman umat manusia adalah sebuah keniscayaan, demikian pesan utama risalah kenabian yang dipegang oleh kanjeng Rasul, dan terekam terang dalam kalam ilahi, yang salah satunya tertera dalam ayat berikut:

Yang artinya;

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)

Populernya tasamuh tidak semata disebabkan oleh gaung besar para pengusung konsep atau pejuang di jalur keberagamaan untuk memastikan bahwa hanya dan jika bersamanya lah umat manusia kelak dapat terus hidup rukun, damai serta tumaninah dalam segala pengabdian kepada Allah SWT.

Pembumian tasamuh sebagai sikap seorang muslim, merupakan hal yang paling mengesankan dan membekas di mata umat lainnya. Ini kiranya yang menjadi sebab utama bagaimana umat Islam layaknya bisa diterima dibelahan negara-negara Eropa.

Dalam Islam, terdapat banyak hikayah dan tuntunan yang ditamsilkan oleh Kanjeng Rasulullah Saw. Dalam penerjemahan sikap tasamuh tersebut, salah satunya melalui hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam At-thayalisy, Ahmad, Thabrani, dan Abu Nuaim dalam Dala’il. Dari Abu Umamah berkata: Berkata Rasulullah Saw, Innalaha ba’atsani illa rahmatan lil alamin wa huddan lil muttaqin, sesungguhnya diutusnya diriku oleh Allah, hanya untuk menjadi rahmat bagi semesta, dan petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Jalaluddin As-Suyuthi, durrul mansur fi tafsiril matsur, Jilid X hal. 405-406).

Tasamuh yang berasal dari akar kata samaha, ditemukan dalam kamus munjid fi lugah wal alam, dengan pengertian tasahul fiih, atau menetapkan sesuatu menjadi mudah. Dalam penelusuran yang lain, lafad tasamuh merupakan resiprokal, yaitu kata kerja yang bersifat berbalasan. Dalam Qomus al-Muhith, kata tasamuh merupakan derivasi dari  kata “samh” yang berarti “sikap pemurah, penderma dan gampangan”. Sedangkan dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata sa-ma-ha diartikan dengan suhulah (mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat dengan perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari. Ia mengartikan kata al-samhah dengan kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat yang berbunyi, “ahabbu al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah”.

Sedangkan kata toleransi, jika dirujuk kepada pengertian KBBI adalah sikap menghargai pendirian orang lain (pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian diri sendiri.

Dalam konteks Indonesia kata tasamuh dipopulerkan oleh Kiai Ahmad Siddiq dengan toleransi. Sikap toleran yang selanjutnya dipedomani oleh hampir seluruh organisasi-organisasi Islam besar yang ditujukan terhadap beragam perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.

Melalui prinsip tasamuh pula lah, para ulama sepuh di Indonesia memberikan citra keberagamaannya yang cenderung lembut, halus dan penuh dengan pesona dakwah yang bertebaran hikmah.

Tasamuh pada akhirnya turut jua memperkuat sikap-sikap yang sebelumnya hadir mewarnai nilai-nilai hikmah keislaman. Seperti al-I’tidal (keadilan), at-tawazun (keseimbangan), at-tawassuth (moderat), dan al-amr bn al-ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar (mendorong kepada kebaikan, dan mencegah dari penyimpangan).


*Penulis adalah Alumni Pesantren Darussalam Ciamis dan PM. Darussalam Gontor, Bekerja sebagai Pelaksana di Subdit Kepustakaan Islam Ditjen Bimas Islam.

*Dimuat di Majalah Bimas Islam, Kementerian Agama Edisi 5/Tahun III/2017.

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.