Arah Baru Perdamaian di Cirebon

Arah Baru Perdamaian di Cirebon

Oleh: Abdurrahman Sandriyanie W

Wacana tentang agenda dan gerakan perdamaian secara kontinyu, dalam konteks muda kekinian di Cirebon, masih jarang disentuh, diminati, apalagi dinikmati. Lazimnya sebuah makanan khas daerah, perdamaian merupakan semacam ciri khas yang senantiasa melekat pada kebudayaan kita semenjak bangsa Indonesia terlahir. Artinya, tanpa ada upaya yang serius dalam merawat dan meruwat perdamaian ke depan, maka sejatinya generasi anak-cucu kita kelak akan terancam.

Apa sebab isu perdamaian kerap terpinggirakan di kalangan muda kita?

Sejauh amatan penulis, melalui pengalaman bergelut bersama teman-teman PELITA, yang secara gagasan dan gerakan berjuang untuk toleransi dan perdamaian anak-bangsa, ajakan untuk hidup damai di aras perbedaan suku, etnis, ras, agama masih terasa satu arah: monoton dan monolog. Terdapat jarak yang cukup lebar manakala memperbincangkan perdamaian di khalayak secara luas. Langkah terobosan ‘Roadshow ke Rumah-Rumah Ibadah’ misalnya, hanya diikuti oleh tuan rumah dan tamu undangan. Selebihnya, masyarakat yang lain enggan mengikutinya. Namun, setidaknya hal tersebut menjadi langkah awal dan perlu pematangan lebih lanjut. Pertama-tama, ada semacam gejala akut yang menimpa kalangan muda-mudi kita, khusunya di Cirebon. Gejala yang jika terus dibiarkan, tentu saja, akan berdampak dalam menghambat langkah perdamaian itu sendiri. Gejala itu bernama ego-sektoral.

Secara emosional berdasarkan tinjauan psikologi behavouristik, masa-masa muda adalah jenjang pencarian jati-diri. Yang kemudian, hal itu teraktualisasikan untuk mengisi paruh kegiatan masa-masa muda dengan berkomunitas atau organisasi. Sayangnya, komunitas-komunitas muda yang bertebaran di kota-kota besar, dan juga Cirebon, masih terkungkung hanya sekadar ‘euphoria-reaktif’ atau kasarnya  ‘mengisi kokosangan waktu belaka’.

Dalam skala kecil, masing komunitas tersebut tengah asyik dengan dunianya sendiri. Mereka tak sadar, bahwa kemudian ada hal-hal penting untuk bangsa ini. mereka yang memiliki hobi otomotif, tentunya akan sibuk mengurusi perkembangan produk mesin mobil dan motor terbaru. Mereka yang terfokus pada satu isu dan wacana tertentu, acapkali terkungkung dengan satu ruang diskusi saja. Tak ayal, keadaan tersebut lantas kemudian menegasikan agenda perdamaian, yang justeru lebih bermanfaat untuk genarasi anak-bangsa di kemudian hari.

“Langkah untuk menjahit ide-ide kreatif dan genuine perihal pesan agama untuk perdamaian, atau relasi ilmu pengetahuan dengan perdamaian merupakan langkah kecil namun perlu proses panjang”

Selanjutnya, dunia akademis senyatanya juga menyumbang kebekuan tentang agenda perdamaian. Diskusi keagamaan, baik intra-antar agama serta pewacanaan tentang perdamaian, kemudian berhenti pada sebatas ruang-ruang diskusi dan seminar. Tidak adanya upaya serius para akedemis kita untuk kemudian merangkak dan hanyut ke dalam dinamika kehidupan masyarakat yang kompleksitas persoalannya sangat beragam.

Sesungguhnya, langkah untuk menjahit ide-ide kreatif dan genuine perihal pesan agama untuk perdamaian, atau relasi ilmu pengetahuan dengan perdamaian merupakan langkah kecil namun perlu proses panjang. Sehingga, mensinergikan antara teks-konteks, dan teks-realitas terus dilakukan secara berkesinambungan. Sungguhpun demikian, ajakan untuk kerukunan antar umat beragama di khalayak luas masih dianggap tabu dan tidak menubuh dengan kondisi masyarakat Cirebon itu sendiri. Sebab,  sumberdaya agama yang senantiasa digali khazanahnya dan kemudian dimapankan oleh para akedemis kita, tentunya, terjerembab pada tingkat elitis saja. Ruang-ruang agama kehilangan elan vitalnya dengan problem sosial-kemasyarakatan yang ada.

Lantas, apa yang kita bisa dilakukan, utamanya untuk agenda perdamaian di Cirebon sendiri?

Sebelum berlanjut untuk mengarah ke agenda tersebut, pertanyaan yang patut dilontarkan: Apakah Perdamaian justeru menjadi penting ketika setelah jatuhnya korban? Ibarata laju sebuah Kapal yang hendak menuju ke Pulau Tujuan, jika Sang Juru Kemudi hanya pasrah suturut mata angin, tentunya ia akan berbahaya. Juru Kemudi yang baik, pastilah tahu bagaimana ia memiliki kapabilitas serta konsistensi yang memadai dalam mengarungi perjalanan itu. Asumsi demikian mengingatkan kita pada Insiden di tahun 2011, tindakan terorisme berupa pengeboman Masjid Mapolresta kota Cirebon menjadi catatan bahwa kemudian langkah preventif atau pencegahan adalah sebuah keniscayan, dan penting sekali untuk terus dikampanyekan dan digalakkan secara massif.

Cirebon memiliki banyak sekali kearifan lokal dan warisan budaya yang menjadi bukti artefak, sosio-fak, dan meta-fak tentang konstruksi perdamaian yang telah dibangun masa-masa awal berdirinya kota ini. Ia adalah penanda identitas kultural dan kohesi sosial masyarakat, yang di sisi lain, sangat berperan besar dalam relasi agama-perdamaian, dan perdamaian-masyarakat. Untuk itulah, perlu ada upaya serius agar tidak terjadi keterputusan pengetahuan untuk anak-anak muda perihal kearifal lokal budaya tersebut. Historisitas Singa Barong yang menjadi alat transportasi raja Kasepuhan Cirebon pada zaman dulu, misalnya, meniscayakan pentingnya menjaga kerukunan anak-bangsa. keharmonisan tersebut, tak ayal, patut dijaga kelestariannya. Walhasil, tipologi para pemuda kekinian yang ada di Cirebon, seperti disinggung sebelumnya, paling tidak, membantu merumuskan ulang agenda perdamaian yang lebih riil. Penulis mengajukan dua pola yang bisa dilakukan secara bersama-sama ke depan, yakni Peace-Banking dan Peace-Keeping. Pertama soal Peace-Bangking. ia mensyaratkan upaya tiada henti, bagaimana caranya pesan-pesan perdamaian yang terdapat pada teks agama, kearifan lokal, dan mekanisme konstitusional Indonesia perlu digali lebih serius, dan yang kemudian mampu menjawab kegelisan publik berkenaan problem sosial-kemasyarakatan yang melingkupinya. Kedua, ­Peace-Keeping.­ Keadaan harmonis yang kita rasakan sekarang ini seyogianya tidak kemudian diabaikan faktor-faktor konflik keagamaan, yang ibarat Api dalam Sekam, yang bisa saja terjadi konflik sosial terbuka sewaktu-waktu.

Oleh sebabnya, mengelola perdamaian lebih baik dan penting ketimbang kita menunggu setelah jatuhnya korban, begitu bukan?

Penulis adalah anak-muda PELITA. Tulisan ini telah dimuat di media JalanDamai.org. Dimuat ulang dengan tunjuan pendidikan

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.