Malala dan Perdamaian

malalaMenyambut Hari Perempuan Internasional

Oleh: Abdurrahman Sandriyanie Wahid*

Kita semua adalah Malala”, tulis Angelina Jolie, bintang kenaaman Hollywood. Satu bentuk apresiasi juga solidaritas atas perjuangan Malala Yousafzai, yang pada tahun 2014 mendapat penghargaan Nobel di bidang perdamaian. Resiko yang didapat tak tanggung-tanggung: sekali waktu ia kerap mendapat perlakuan diskriminatif dan percobaan pembunuhan dari orang-orang yang membencinya. Namun, ia tak gentar ataupun sekali-kalinya mundur.

Sepintas lalu, usia Malala, masih seumur biji jagung. Di usia yang masih dini, yakni 17 tahun, Malala aktif dan giat mengkampanyekan perdamaian di negara Pakistan. Syahdan, negara Pakistan, yang realitasnya penuh dengan pergolakan politiknya, ia begitu lantang memperjuangkan nasib orang-orang pinggiran. Kelompok opisisi Taliban, yang merupakan kelompok opisisi dan dikenal radikal-ekstremis itu, acapkali menghentikan perjuangan Malala, dengan dalih ia adalah perempuan.

Malala percaya, bahwa perjuangan membumikan nilai-nilai perdamaian dimulai dari pendidikan. Melalaui pendidikan, hak-hak warga sipil akan terpenuhi dan diksriminasi takkan terjadi. Menyitir Paulo Friere, tokoh pendidikan asal Brazil, bahwa pendidikan adalah pembebasan kaum-kaum lemah. Maka di sinilah, Malala dan Friere bertemu dalam satu aras perjuangan yang sama.

Adalah sesuatu yang menarik, saat kemudian Malala, mengatakan bahwa ia termasuk orang yang anti sosial-media, seperti Facebook, Twitter, dan lain sebagainya. Pilihan itu didasarkan karena penggunaan sosial media di kalangan remaja di seantero dunia sudah tak sewajarnya dan melampaui batas. Jika sebenarnya tujuan sosial media adalah satu jembatan komunikasi, maka di tangan-tangan remaja kita, hal tersebut justeru berbanding terbalik. Media sosial menjadi semacam “Dunia Baru (New a Wordl)”, yang mengakibatkan para remaja kita tercerabut dari realitas dan fungsi sosialnya di masyarakat.

Dari Sosial Media ke Perdamaian

Malala Yousafzai telah menunjukkan, bagaimana seluruh hidupnya ia dedikasi untuk perdamaian. Pertanyaan mendasar bagi remaja kita: Adakah kerja-kerja perdamaian sudah dilakukan? Bagaimana penyikapan kita atas beberapa konflik umat beragama yang terjadi di negeri ini? Lantas, jika kita adalah bagian dari penggunaan sosial media, sudikah kita mengkampenyekan nilai-nilai perdamaian di jejaring sosial media?

Dalam pandangan yang sempit, tentu saja, kerja-kerja perdamaian akan dipersepsikan dengan keadaan konflik terbuka. Padahal, perdamaian adalah urat-nadi bangsa Indonesia ke depan, nantinya. Apa yang kita lakukan hari ini, pastinya bermanfaat di kemudian hari. Kerja perdamaian tidak saja penting dilakukan saat terjadi peperangan atau konflik terbuka, namun mencakup seluruh aspek nir-kekerasan, baik kekerasan fisik, struktural dan kultural.

Di era teknologi yang kian maju pesat, penggunaan sosial media semakin banyak pula diminati. Dari situlah tindakan yang perlu dilakukan dalam keterlibatan kita, khususnya sebagai remaja, adalah salahsatunya, menciptakan perubahan sosial melalui jejering media sosial. Kita bisa mengambil kebermanfaatan dari kemajuan teknologi digital ini, yakni akses informasi yang lebih cepat dan efektif dan akses bantuan, berupa dukungan sikap anti-kekerasan. Perdamaian merupakan keinginan universal dan setiap orang berusaha untuk hidup damai, tetapi tidak semua pihak menyadari kontribusi yang bisa dikerjakan untuk menciptakan perdamaian. Tak ayal, jejaring sosial sesungguhnya bisa menjadi sarana untuk menyebarkan budaya perdamaian dan menjadikan perdamaian itu sebagai gaya hidup.

Sungguhpun demikian, perubahan sosial akan terwujud melalui penggunaan  media sosial sebagai jejering perdamaian. Aksi-aksi penolakan terhadap bentuk kekerasan dan kebencian bisa dilakukan, misalnya, dengan membuat fanpage di facebook, twitter dan juga blog/website, yang komposisinya berupa pesan-pesan perdamaian di kalangan remaja anak-bangsa.

Komiten Dialog

Inti dari semua kerja perdamaian adalah dialog. Sedangkan kunci keberhasilan dari perdamaian adalah keterlibatan semua pihak. Perbedaan di antara kita adalah sesuatu yang tak bisa dihindari, baik perbedaan suku, agama, ras dan budaya. karena hal tersebut adalag rahmat Illahi, sunnatullah. Berbeda itu pasti. Untuk itulah, kita semestinya tak lagi meributkan apa itu perbedaan, apalagi permusuhan, karena yang terpenting adalah kita lahir dari rahim yang sama: Indonesia.  Dialog dan keterlibatan semua pihak, tentu saja, diharapkan agar mampu mengewejantahkan nilai-nilai perdamaian di kalangan remaja kita. Mereka adalah harapan bangsa Indonesia, jangan sampai ada oknum-oknum yang, “menuai tanpa menanam”, yaitu orang-orang yang hobi memprovokasi untuk menebar kebencian.

Fenomena yang akhir-akhir ini sedang marak adalah penolakan terhadap golongan Syi’ah. Setelah sebelumnya, menimpa kelompok Ahmadiyah, yang disusul penyerangan rumah-rumah ibadah. Dengan tuduhan sesat dan kafir, kelompok-kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah mendapatkan ancaman dan tindakan dikriminatif. Bagaimana hal ini bisa terjadi? karena mereka alpa, bahwa ia, dan kita semua adalah anak-bangsa Indonesia. Mereka juga lupa, apapun agama dan golongannya, adalah juga sama-sama makhluk ciptaan Tuhan dan bercita-cita untuk terus mengajarkan kebaikan di dunia. Penilaian bahwa seseorang itu kafir dan semacamnya adalah semata-mata hak preogratif Tuhan. Bukan wilayah kita untuk menilai, apalagi sampai menjustifikasi. Tugas sentral manusia adalah menjaga kehidupan agar tetap harmonis dan damai.

Malala, seperti telah disinggung sebelumya, adalah platform bagi remaja kita untuk terus tiada henti mengkampanyekan perdamaian. Ia, gadis remaja, senantiasa yakin, bahwa perdamaian merupakan idaman semua manusia. Walhasil, bentuk ajakan dan ajaran untuk membenci satu agama atau kelompok tertentu, dengan alasan perbedaan dan kebenciaan, adalah hal yang sia-sia. Masih banyak agenda yang semestinya penting untuk dipikirkan dan dilakukan: kemiskinan, misalnya. Apakah ruang lingkup di sekitarnya kita masih jauh dari kata sejahtera? Untuk itulah, remaja sesungguhnya memiliki peran yang sangat vital dalam hal ini.  Kebencian dalam bentuknya yang paling purba adalah penyakit yang merongrong kehidupan yang plural dan multikultural bangsa Indonesia. Jauhkanlah kebencian.***

*Penulis adalah Koordinator Riset dan Kajian PELITA, Tulisan ini dimuat di Radar Cirebon, 24-04-2015.

Sumber Gambar: Internet

Comments Closed

Comments are closed. You will not be able to post a comment in this post.